Minggu, 09 September 2018

Puisi : Revolusi Moral

Debu-debu jalanan menerkam mataku
Angin bertiup merepa rambut hitamku
Tukang parkir berambut cepak nan garang
Berebut lahan dengan cara yang curang

Keperawanan sudah bukan lagi kebanggaan
Terjual murah hanya demi uang recehan
Pakai sorban, wajah berjenggot dan berjubah panjang
Teriak bid'ah, haram dan thogut pada semua orang

Aku sendiri cuma menyinyir
Aku sendiri hanya menyindir
Geleng-geleng kepala
Geleng-geleng mata

Moral merosot akibat gangguan jiwa
Penyakit hati sudah seperti hama musiman
Nilai sosial diukur dari hadiah semata
Jeratan setan mencekik hak keadilan

Tinggal menunggu waktunya tiba
Yang benar dianggap salah
Tinggal menunggu harinya tiba
Yang salah dianggap benar

Individualistis agamis kacaukan konstitusi
Hedonis kapitalis menyumbat hati nurani
Inikah sebuah revolusi ?
Ataukah sebuah demoralisasi ?

Tanyakan otakmu...
Tanyakan hatimu...
Terserah kau saja...
Terserah kalian saja...

Puisi : Amarah


Sungguh tiada kusangka
Dirimu berani mendua
Menghentikan cinta kita
Yang cukup lama terbina

Cerita indah berakhir duka
Dirimu sudah tak lagi setia
Pahitnya lagi kau berdusta
Setelah hadirnya nestapa

Mungkin aku telah berdosa
Membiarkan terhanyut dalam nikmatnya luka
Lebih parah dari secuil realita
Ironi membusuk dalam alur asmara

Meletus dan memuntahkan lava
Amarah bercampur dengan nista
Melepuhkan hati nurani di jiwa
Menghanguskan akal sehat di kepala

Puisi : Sendu Di Kala Hujan

Angin kencang disertai petir
Hujan pun turun basahi hilir
Kedua mataku seakan tersihir
Saat kehilangan cinta bergilir

Surat terakhirmu telah kubaca
Pipiku terasa berlinang air mata
Rasa rindu justru berakhir pilu
Kenangan bersamamu telah berlalu

Banjir pipiku membendung air mata sendu
Membaca surat undangan pertunanganmu
Takdir seperti tiada kunjung bahagia
Mungkinkah aku akan menjadi gila

Hilang sabarku, luntur senyumku
Mencair nuraniku, pudar akalku
Kilat menjadi saksi hancurnya diri
Meluap sudah kemarahanku ini

Ingin kubantai semua orang di dunia ini
Termasuk lelaki yang kini bersanding disisimu
Sebagai tumbal amarah senduku ini
Biar dunia tahu aku masih mencintai dirimu

Puisi : Ular Tua

Hai kau... Ular tua
Hidup di semak-semak itu
Keluarlah dari sarangmu
Tunjukkan siapa sebenarnya dirimu

Hai kau... Ular tua
Kulitmu terkelupas habis tiada sisa
Taringmu tajam cairan berbisa
Racunmu lumpuhkan segalanya

Panjang tubuhmu melilit korbannya
Mati tercekik dalam cengkeramannya
Mencari mangsa tanpa pilih kasih
Sikat habis sasaran sampai bersih

Masuk ke lubang yang dalam
Mencari kenikmatan yang terpendam

Ular tua... Ular tua... Usia semakin senja
Ular tua... Ular tua... Tubuh lemah tak bertenaga
Ular tua... Ular tua... Lidah menjulur panjang
Ular tua... Ular tua... Kerjanya mencari peluang

Ingat istri, anak, menantu dan cucumu
Jangan hanya menuruti keinginan dan nafsumu
Sergapanmu melingkari tubuh perawan
Perawan terlena segala macam rayuan

Jangan harap dirimu menjadi seekor naga
Bagiku dirimu hanyalah seekor cacing tanah
Semakin tua kau semakin gila wanita
Dagingmu dari jauh tercium bau tanah

Puisi : Hari Raya Kelabu

Setiap kumengingat datangnya bulan syawal
Hatiku sakit kala mendengar suara itu
Apa lagi ketika memandag wajah dicermin
Kuteringat kisah cinta yang dahulu terjadi

Pada awal bulan Sya'ban, kutemui sepucuk surat undangan
Terlihat jelas untuk diriku, undangan ini kudapatkan

Alangkah terkejutnya diriku, tertulis namamu bersanding dengan nama orang lain
Rupanya engkau lebih memilih yang lain, daripada denganku

Kupikir keputusanmu akan berubah untuk kembali padaku
Namun nyatanya itu malah membuatmu lupa denganku
Jangan harap aku akan datang memberi restu kepadamu
Sebab aku masih enggan memberi maaf kepadamu

Lupakan saja, kenangan dimasa dulu
Lupakan saja, jadilah ini hari raya kelabu

Puisi : Tak Sudi Menerimamu Kembali

Sudah terlambat kau meminta maaf
Kini kutak mau lagi mendengar seluruh alasanmu
Tiada lagi wajah ramah untuk kuperlihatkan
Kepada dirimu yang dahulu mendustaiku

Anggap saja kita tak pernah bertemu
Anggap saja kita tak pernah saling mencintai
Mulai sekarang kita adalah musuh
Mulai sekarang kita saling menjatuhkan

Tak sudi menerimamu kembali
Tak sudi menerimamu disini
Coretan lama yang tercetak indah
Coretan lama berubah jadi masalah

Aku tak ingin kau banyak bicara
Sekarang sudah terbukti kebenarannya
Biarpun kini kau telah berkeluarga
Sekarang aku akan mencoba berbalik buat kau menderita

Puisi : Di Bawah Matahari Yang Sama

Kulihat fajar menyingsing gelapnya malam
Ayam berkokok diatas atap rumahku
Embun pagi jatuh menetes dari kelopak bunga
Jatuh membasahi tanah yang mengigil dingin

Manusia merenung dan mengurung diri di kamar mandi
Apa yang akan terjadi hari ini ?, Itulah katanya...

Mereka berada dibawah matahari yang sama
Merasakan panasnya hingga hangus kulitnya
Mereka berada dibawah matahari yang sama
Merasakan terangnya yang menyilaukan mata

Sepanjang hari hanya memikirkan diri sendiri
Seakan tak peduli nasib lainnya
Sepanjang malam hanya makan minum
Seakan esok tiada orang menanti bantuannya

Jatuhlah mereka kala matahari menjilat ubun-ubunnya
Terbakar ditengah gurun keabadian

Puisi : Hijaunya Alam


Bukit gundul tanpa pepohonan
Kini terlihat mengkhawatirkan
Lebatnya rumput tinggal kenangan
Terik mentari membakar seluruh hutan

Terdiam membisu aku termenung
Dunia menjerit wajahnya murung
Hijaunya alam itulah mimpiku
Hijaunya bumi itulah harapanku

Ku tak ingin terulang lagi
Hancurnya alam karena bencana
Ku tak ingin terjadi lagi
Terlantarnya alam karena manusia

Puisi : Entah Dimana ?


Aku bingung sendiri
Aku kecewa sendiri
Aku terpuruk sendiri
Aku menangis sendiri

Di Depan Kedua Mataku
Kau Menghilang Jauh
Di Dalam Relung Hatiku
Kau Menghilang Jauh

Entah Dimana Kau Berada
Entah Dimana Kau Bersembunyi
Kucari, Kunanti, Kuhadapi
Kucari, Kunanti, Kuhadapi

Kenyataan ini, Rintangan ini
Pasti akan kulewati sendiri

Puisi : Pantat Berkarat


Foto : Via Vallen

Menari-nari sambil bernyanyi
Suara buruk tiada peduli
Uang mengalir ke rekening pribadi
Asal perut selalu terisi

Malam menjelang udara dingin
Diluar banyak penjilat berdarah dingin
Lagi-lagi terlihat disana
Gemerlap lampu panggung menyala

Setan tertawa terbahak-bahak
Riasan wajah terlihat galak
Mau sampai kapan ini terjadi
Pantat berkarat menjijikan sekali

Tiada peduli ocehan masyarakat
Walaupun diri dianggap bangsat
Goyang pantat, pantat berkarat
Lebih berharga dari emas 24 karat

Puisi : Kejamnya Dunia


Sudah lama kujalani hidup ini
Namun tiada berubah nasib ini
Berbagai macam cara dilakukan
Bahkan sampai rela jadi korban

Makan asam garam
Minum air raksa
Mandi keringat darah
Tidur berselimut derita

Rasanya alangkah membosankan
Merasakan kejamnya dunia fana
Harga diri kini telah tergadaikan
Demi sebuah kenikmatan sementara

Puisi : Bayangan & Harapan


Perkataanmu sungguh meyakinkan
Namun berujung menyakitkan
Perbuatanmu begitu mengagumkan
Malah akhirnya menjadi memilukan

Aku sangat percaya padamu
Sejak awal aku yakin padamu
Janji tempo hari kuingat selalu
Hingga terbawa angin lalu

Kalau saja aku tidak meyakinimu
Mungkin tiada kata sesal dihatiku
Semua itu hanya bayang semu
Semua itu hanya harapan palsu

Jumat, 07 September 2018

Puisi : Hanya Ada Satu Kata

Keadaan semakin tak menentukan
Ketika bangkai-bangkai berserakan
Seakan tak mampu melawan
Namun itu bukanlah suatu alasan

Percikan api membakar nurani
Hanguskan jiwa raga insani
Kotoran menempel dan berbekas
Ayo bangkit, janganlah malas

Hanya ada satu kata
Untuk bangunkan raga
Hanya ada satu kata
Untuk dinginkan jiwa

Maju terus pantang mundur
Jangan kabur apalagi tersungkur
Cinta kasih kini hancur lebur
Nasi sudah menjadi bubur

Hanya ada satu kata
Lawan... Lawan... Lawan... !
Hanya ada satu kata
Lawan... Lawan... Lawan... !

Perjuangan belum usai
Tak pantas kita lalai
Bukan waktunya berandai-andai
Apalagi sampai jatuh terbuai

Puisi : Kembali Bersemi

Kering kerontang seluruh jiwaku
Menanti hujan turun lebat nan deras
Gersang membentang seluruh ragaku
Menanti hujan basahi tubuhku yang panas

Seakan tiada arti, aku jalani semua ini
Bila keadilan kembali, pasti aku akan mencari lagi

Kehidupan sunyi tanpa kawan
Mencengkram seluruh perasaan
Gusar sudah konsentrasi di otak ini
Melihat kebodohan sudah jadi suratan

Ingin rasanya melawan ketidakadilan ini
Namun semua itu sulit untuk diwujudkan
Kembali bersemi impian yang dulu terpendam
Hingga akhirnya berbuah menjadi dendam

Kembali bersemi harapan yang dulu terbayang
Semoga nanti akan datang waktu yang gemilang

Bercumbu dengan waktu
Melepas sisa-sisa masa lalu
Mencoba keluar dari jalan buntu
Demi tuntaskan kisah yang pilu