Jumat, 17 Agustus 2018

Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 03)

 Gambar : Resi Gotama

Prabu Kartawirya memutuskan untuk menyerang pasukan Lokapala pada esok hari, kali ini sang Prabu menargetkan kemenangan untuk mencegah pertempuran yang jauh lebih ganas.
Mengingat kondisi kutaraja sudah porak-poranda akibat serbuan musuh, Prabu Kartawirya menyarankan Patih Surata mengorganisir penduduk untuk segera memperbaiki seisi kota agar tertata rapi.

Sedangkan Senapati Kartanadi ditugaskan memimpin pertempuran melawan wadyabala Lokapala yang diduga bersembunyi di tengah hutan.
Mereka siap sedia menjalankan tugas esok pagi dan pertemuan pun selesai pada malam itu.
Seusai mengadakan pertemuan, Prabu Kartawirya menemui sang Permaisuri Dewi Danuwati yang sedang hamil. Diceritakan Prabu Kartawirya khawatir dengan sang istri yang berbadan dua, kekhawatiran Prabu Kartawirya adalah bagaimana bisa sang permaisuri yang hendak memasuki usia tua kandungan dapat melahirkan dalam situasi yang kurang aman.

Prabu Kartawirya mendapat ide, ia akhirnya mengungsikan Dewi Danuwati ke pertapaan Grastina yang merupakan lokasi paling aman.
Kemudian Prabu Kartawirya segera mengungsikan Dewi Danuwati ke pertapaan Grastina dibawah pengawasan Resi Gotama yang tidak lain adalah guru semasa masih menjadi pangeran.
Resi Gotama menerima kehadiran Prabu Kartawirya, sang Resi juga siap menjalankan perintah demi keselamatan permaisuri.
Bahkan selama Dewi Danuwati berada di pertapaan Grastina, ia ditemani Dewi Indrandi yang merupakan istri Resi Gotama.
Dalam sebuah pertemuan, Resi Gotama memberitahu kabar baik untuk Prabu Kartawirya bahwa sebentar lagi titisan Bhatara Wisnu akan turun ke alam mayapada memberantas angkara murka. Prabu Kartawirya ingin tahu, siapakah titisan Bhatara Wisnu yang dimaksud ?
Dengan ringkas, Resi Gotama mengatakan bahwa titisan Bhatara Wisnu tersebut adalah anak yang dikandung Dewi Danuwati.

Alangkah gembiranya Prabu Kartawirya mengenai berita baik nan agung itu. Ini merupakan sebuah kehormatan bagi dirinya, karena dipercaya menjadi Ayah dari seorang ksatria titisan Dewa.
Resi Gotama mengatakan sudah saatnya Dewi Danuwati untuk bersalin, jaraknya sekitar seminggu lagi. Lantas, Prabu Kartawirya tetap tinggal di pertapaan Grastina selama seminggu guna menanti kelahiran sang janin.
Tak disangka saat pembicaraan antara Prabu Kartawirya dengan Resi Gotama berlangsung, datanglah Bhatara Narada menemui kedua figur terhormat itu.
Dengan penuh kegembiraan, Bhatara Narada mengatakan bahwa titisan Bhatara Wisnu akan segera lahir. Dan yang lebih menggembirakan lagi bukan cuma satu tetapi ada dua' namun yang kedua ini masih dirahasiakan.
Yang jelas titisan Bhatara Wisnu yang kedua ini akan menjadi pendamping anak yang dikandung Dewi Danuwati kelak.
Menurut petunjuk, titisan Bhatara Wisnu yang kedua itu nantinya akan menjadi Patih di negeri Mahespati pada zaman pemerintahan sesudah Prabu Kartawirya.
Uniknya, titisan Bhatara Wisnu yang kedua ini terlahir dari keluarga trah Witaradya/kaum Brahmana dan memiliki senjata ampuh bernama Cakrabaskara.
Sedangkan janin yang dikandung Dewi Danuwati adalah titisan Bhatara Wisnu dengan kelebihan mampu berubah wujud menjadi Brahala Sewu/Raksasa Berkepala Seribu yang mengerikan.

Bhatara Narada mengatakan bahwa titisan Wisnu yang akan turun ke mayapada nanti dipercaya akan menjadi pemimpin bijaksana dan mampu memakmurkan rakyatnya.
Atas saran Bhatara Narada, Prabu Kartawirya harus melakukan ritual untuk menyambut kelahiran sang jabang bayi dengan menyiapkan sesaji berupa seekor kuda.
Prabu Kartawirya menyanggupi dawuh Bhatara Narada, sedangkan Resi Gotama ditugaskan untuk memimpin ritual penyambutan kelahiran.
Seusai memberitahu, Bhatara Narada undur diri dari hadapan kembali ke Kahyangan. Kemudian, Prabu Kartawirya segera melaksanakan apa yang diamanatkan tadi.
Keesokan harinya, seluruh cantrik di pertapaan Grastina bergotong royong menyiapkan piranti guna menyempurnakan sebuah ritual.
Selesai menyiapkan piranti, para Cantrik melapor bahwa seluruh persiapan telah matang dan siap dilaksanakan.

Dengan khidmat ritual suci di pertapaan Grastina berlangsung, seluruh persiapan sudah dijalankan. Giliran Prabu Kartawirya dan Dewi Danuwati yang sudah memakai busana serba putih disirami air bunga tujuh rupa.
Resi Gotama membacakan mantra dan doa-doa suci kepada Dewata agar keselamatan janin yang dikandung terjaga dengan baik.
Berikutnya Resi Gotama memimpin penyerahan sesaji berupa seekor kuda, dalam bahasa sansekerta disebut Aswawedha. Kemudian kuda yang sudah dimandikan itu dilepas sebagai pertanda bahwa seluruh malapetaka akan segera menjauh dari seluruh kehidupan manusia.

Cerita berganti, dimana suasana ramai meliputi wilayah perbatasan negeri Mahespati.
Patih Surata dan Senapati Kartanadi berdiri memimpin pasukan guna menggempur dan menekan para prajurit Lokapala yang diduga bersembunyi di hutan.
Seluruh pasukan siap siaga dengan persenjataan lengkap, mereka menunggu aba-aba dari Senapati Kartanadi. Meskipun belum memulai penyerangan, Patih Surata meminta agar tetap waspada karena takut diserang secara mendadak.
Senapati Kartanadi begitu khawatir dengan keadaan Prabu Kartawirya yang kini berada di pertapaan Grastina bersama sang permaisuri.
Namun, Patih Surata menjamin keselamatan sang Prabu aman karena berlindung di tempat dimana dahulu menimba ilmu.

Seluruh pasukan dari Mahespati terlihat waspada dan tetap pada posisinya. Prajurit berkuda masih di bagian belakang prajurit bersenjatakan tombak, Prajurit bersenjatakan pedang dan prajurit penamah juga siap.
Lalu, dari kejauhan terdengar suara hentakan yang menyerupai suara terompah. Patih Surata menduga suara terompah itu adalah hentakan kaki pasukan dari Lokapala yang mengiring Patih Banendra sebagai panglima perang.
Patih Surata sudah menanti kemunculan Patih Banendra yang dahulu ia hadapi saat pertempuran di kutaraja.
Kemudian, semakin dekat suara langkah pasukan Lokapala mendekati rombongan pasukan Mahespati. Akhirnya muncullah mereka yang sudah lama menanti-nanti, tanpa aba-aba serbuan dimulai dari pihak Lokapala yang dikomandoi oleh Patih Banendra.
Patih Surata tidak tinggal diam, pasukan Mahespati serukan maju melawan pasukan dari Lokapala.

Pertempuran antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari, Patih Surata dan Senapati Kartanadi menyerang pasukan pimpinan Patih Banendra dari Lokapala.
Denting pedang dan lesatan anak panah mewarnai jalannya pertempuran di perbatasan.
Patih Surata berharap Prabu Kartawirya segera menyusul rombongan pasukan Mahespati agar moral seluruh wadyabala bisa berkobar layaknya api tersiram minyak.
Patih Surata belum mau menyerang dulu karena Patih Banendra belum juga turun gelanggang. Sementara itu Senapati Kartanadi maju melawan ribuan prajurit Lokapala yang lumayan mumpuni.
Akibatnya tebasan pedang yang diayunkan Senapati Kartanadi berhasil menghabisi puluhan nyawa prajurit yang mengepung dirinya.
Sedangkan prajurit Mahespati yang mengawalnya menyebar membantu lainnya demi memperoleh dominasi tanpa balasan.
Patih Banendra punya rencana, dimana ia sudah memprediksi akan dikalahkan. Tetapi, itu baru sekedar mengulur waktu karena orang nomor satu di Kerajaan Lokapala akan datang mengikuti perang.

Patih Surata dari jauh begitu heran dengan mimik wajah Patih Banendra yang tidak khawatir dengan kondisi pasukannya yang kian menipis.
Lalu, Patih Surata memerintahkan seluruh pasukan untuk memperlambat tempo penyerangan agar menghemat tenaga. Semua prajurit yang mendengar suaranya segera melaksanakan perintahnya.
Cerita berganti di pertapaan Grastina, Prabu Kartawirya sedang memakai baju perangnya dan mempersiapkan senjata tempur untuk menyusul rombongan pasukan Mahespati.
Dewi Danuwati takut bila terjadi apa-apa pada suaminya itu, namun Resi Gotama mencoba menenangkan hati Dewi Danuwati yang kala itu sedang hamil tua. Begitu pun Dewi Indrandi yang ikut mengawasi kondisi fisiknya.
Prabu Kartawirya pamit, ia segera berangkat menuju medan perang menemui Patih Surata yang masih bergelut dengan suasana penuh kekejaman.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar