Jumat, 17 Agustus 2018

Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 01)

Gambar : Prabu Danaraja

Suatu hari di negeri Mahespati, ada seorang raja yang luar biasa kekuasaannya dan sakti mandraguna. Dialah Prabu Kartawirya yang berkuasa atas wewengkon negeri Mahespati.
Ia merupakan keturunan dari Prabu Heriya, pendiri negeri Mahespati.
Hari itu ia dihadapkan dengan seluruh jajaran menteri dan pejabat kerajaan.

Pada hari itu Prabu Kartawirya sedang berbahagia bahwa permaisuri tercinta, Dewi Danuwati sedang hamil.
Berita ini membuat semua pejabat negeri Mahespati bersukacita karena nantinya akan lahir calon penguasa baru kelak.
Prabu Kartawirya berharap kondisi sang permaisuri baik-baik saja, mengingat saat ini negeri Mahespati sedang dirundung krisis keamanan.
Negeri Mahespati kali ini akan diganggu keamanannya akibat gagalnya sebuah hubungan kerjasama dengan Negeri Lokapala.
Negeri Lokapala berniat meminta bantuan kepada Negeri Mahespati agar mau memerangi Negeri Alengka yang berstatus daerah jajahan Lokapala.
Namun, pihak negeri Mahespati tidak mau memberikan bantuan karena dianggap hendak membinasakan negeri Alengka.


Negeri Mahespati sejatinya tidak menghendaki adanya peperangan antara Negeri Lokapala dengan Negeri Alengka yang terhitung masih dalam satu pulau.
Prabu Kartawirya mencoba mencairkan hubungan kedua negara yang sedang berseteru itu, namun ternyata malah menjadi sebuah bantahan oleh Negeri Lokapala.
Konon, Negeri Lokapala dipimpin oleh Prabu Danaraja yang merupakan putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati.
Prabu Danaraja waktu itu ingin sekali membinasakan Negeri Alengka yang dinilai jarang memberikan upeti kepada Negeri Lokapala. Sebuah peraturan berlaku mengatakan bahwa negeri jajahan dibawah kekuasaan Negeri Lokapala yang tidak pernah membayar upeti maka akan dihancurkan.
Itulah yang dikhawatirkan Prabu Kartawirya sebagai raja Negeri Mahespati, jika Lokapala dan Alengka berseteru terus menerus maka akan menjadi perang besar.

Prabu Kartawirya mengutus Patih Surata untuk berangkat ke negeri Lokapala untuk meminta kejelasan mengenai nasib negeri Alengka.
Patih Surata pun berangkat menuju negeri Alengka sambil membawa sepucuk surat yang ditulis oleh Prabu Kartawirya sendiri.
Dengan menaiki perahu penyeberangan, Patih Surata pergi sambil didampingi Senapati Agung Kartanadi berlayar menuju negeri Lokapala.
Harapan Prabu Kartawirya setelah mengirim surat lewat utusan Patih Surata dan Senapati Agung Kartanadi adalah mencairnya perseteruan antara negeri Lokapala dengan negeri Alengka.

Sesampainya di negeri Lokapala, Patih Surata dan Senapati Agung Kartanadi segera menghadap Prabu Danaraja yang sedang didampingi Patih Banendra.
Patih Surata datang membawa surat berisi usulan agar negeri Lokapala tidak mencaplok wilayah negeri Alengka, surat itu kemudian dibaca oleh Prabu Danaraja.
Lalu, setelah membaca isi surat itu Prabu Danaraja murka karena keinginannya untuk membasmi kaum denawa tidak disetujui.
Akhirnya, Patih Surata diusir dari negeri Lokapala dan rencana mendamaikan situasi di negeri itu gagal. Sebagai balasan, negeri Lokapala akan menyerbu negeri Mahespati dengan alasan bahwa Prabu Kartawirya telah ikut campur urusan negara lain.

Keadaan mulai gawat, Patih Surata dan Senapati Bambang Kartanadi undur diri dari hadapan Prabu Danaraja.
Ketika sudah keluar dari keraton, rupanya mereka berdua sudah dikepung seluruh prajurit Lokapala. Maka pertarungan pun tak terelakkan lagi, mau tidak mau misi perdamaian berubah menjadi misi pertumpahan darah.
Keributan terjadi diluar, Patih Surata menganggap ini adalah cara seorang raja menerima tamu dari luar yang tidak sependapat dengannya.

Adu fisik tidak bisa dihindari, seluruh prajurit Lokapala menyerang Patih Surata dengan berbagai macam senjata.
Mulai dari pedang, tombak dan panah mulai membuat keadaan semakin brutal. Patih Surata tidak tinggal diam, ilmu kanuragan yang ia dapat dari Begawan Jumanten, tidak lain dan tidak bukan adalah ayah Senapati Kartanadi ia gunakan untuk menyerang prajurit.
Namun, karena ini hanya sebatas misi diplomatik maka Patih Surata tidak akan membunuh satu orang pun. Ia hanya cukup membuat seluruh lawannya kelelahan.
Bahkan berbagai macam jurus tipuan digunakan untuk menyerang.

Prajurit Lokapala kian terdesak akibat jurus-jurus tipuan milik Patih Surata.
Alhasil, seluruh lawan sudah disingkirkan tanpa menelan korban jiwa. Namun, pertarungan belum selesai...
Senapati Kartanadi masih dalam keadaan kacau, ia masih sibuk menghindari amukan prajurit bersenjatakan tombak. Namun, apa yang terjadi setelah itu' Senapati Kartanadi berhasil membuat konsentrasi semua lawannya buyar.

Kemudian, Senapati Kartanadi menemui Patih Surata dan menyarankan rencana untuk pergi dari Kerajaan Lokapala.
Patih Surata setuju dengan saran Senapati Kartanadi, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk meninggalkan negeri itu agar tidak terjadi huru-hara lagi.
Misi Perdamaian berjalan gagal, tidak ada cara lain selain itu karena Kerajaan Lokapala masih bernafsu untuk menduduki Kerajaan Alengka.
Cerita berganti, Prabu Kartawirya duduk di atas singgasana sambil ditemani para nayaka praja. Sang prabu sedang mengadakan perjamuan minum teh untuk mencairkan suasana setelah beberapa waktu memimpin jalannya sidang istimewa.

Tanpa diduga kembalilah Patih Surata dan Senapati Kartanadi, mereka melaporkan bahwa misi telah gagal.
Prabu Kartawirya pun menyadari bahwa kejadian ini tak bisa dielak lagi, karena masalah ini sudah mencapai titik terpanas. Kemudian, Prabu Kartawirya segera memerintahkan Senapati Kartanadi membentuk formasi penjagaan ketat di seluruh wilayah Mahespati. Hal ini dilakukan agar musuh yang terlibat konfrontasi tidak mudah masuk ke wilayah negeri Mahespati, Senapati Kartanadi setuju atas usulan Prabu Kartawirya dan segera melaksanakannya.

Lalu, seluruh prajurit Mahespati segera melakukan penjagaan yang cukup ketat di seluruh wilayah perbatasan.
Mereka terdiri dari beberapa kompti pasukan kelas atas dan kumpulan jago-jago tanding yang dihasilkan dari pertapaan.
Semua siap siaga dalam menghadapi segala kemungkinan, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Prabu Kartawirya mewaspadai kedatangan pasukan musuh agar tidak masuk wilayah kerajaan Mahespati.
Apalagi, saat ini permaisuri Prabu Kartawirya sedang hamil tua dan tinggal menunggu hari kelahiran si jabang bayi.

Malam pun menjelang, hawa dingin mulai mendekap seluruh negeri Mahespati.
Prajurit-prajurit Mahespati sibuk berjaga di pos penjagaan, ada yang sedang fokus menatap ke depan bahkan ada yang tertidur karena lelah.
Prabu Kartawirya menatap langit sambil memanjatkan doa kepada dewata agar tidak terjadi hal yang membahayakan seluruh rakyat Mahespati.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar