Jumat, 17 Agustus 2018

Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 04)

 Gambar : Bathara Narada

Prabu Kartawirya harus segera sampai di sana agar tidak ketinggalan jalannya pertempuran.
Dengan mengendarai kuda, raja Mahespati itu melaju cepat' suara hentakan kaki kuda menjadi penentu kapan Prabu Kartawirya bisa bersatu dengan rombongan.
Tidak disangka, sesampainya di pinggiran medan tempur' sang prabu mulai mendengar gemuruh yang diduga adalah bunyi denting pedang dan tombak.
Prabu Kartawirya menyedari bahwa prajurit-prajurit Mahespati tidak bisa bertempur dengan baik tanpa komandonya. Sebagai wujud kehadirannya di medan tempur, Prabu Kartawirya mengirim pesan lewat ilmu telepati kepada Patih Surata.
Di medan tempur, Patih Surata merasakan firasat positif dan hal itu menjadi pertanda bahwa Prabu Kartawirya sudah berada di medan perang.
Optimis, itulah kata yang ada didalam pikiran Patih Surata setelah ia menduga bahwa dirinya memperoleh pesan lewat ilmu telepati.

Pasukan dari Mahespati masih menguasai jalannya pertempuran, tetapi dalam tekanan yang besar karena lawan yang dihadapi adalah pasukan dari Lokapala' karena menang jumlah, pasukan yang menyerbu jauh lebih agresif.
Patih Surata kewalahan menghadapi puluhan bahkan ribuan serangan dari berbagai penjuru. Dan tidak disangka, tanpa sadar Patih Surata mulai mengetahui berapa perbandingan kekuatan pasukan Mahespati dengan pasukan Lokapala.
Jumlah pasukan Mahespati rupanya tidak cukup menguasai, akhirnya banyak prajurit yang gugur. Sementara itu Senapati Kartanadi masih berkutat dalam pengepungan dan tidak bisa berbuat banyak.

Akan tetapi suasana dalam tekanan itu berubah 180 derajat setelah dari jauh muncul sesosok penunggang kuda.
Akhirnya Prabu Kartawirya datang membantu pasukannya yang bertempur dalam kepungan, sambil berkendara di atas pelana' sang Prabu melepas anak panah neraca bala sehingga puluhan prajurit dari Lokapala menyebar karena takut terkena panah.
Patih Banendra yang menikmati jalannya pertempuran mulai terkejut saat pasukan dibawah kendalinya bubar mawut. Dari jauh ia melihat anak panah yang jumlahnya ribuan' sontak Patih Banendra menduga bahwa orang yang melepas anak panah sebanyak itu bukan orang sembarangan.
Patih Banendra lantas mengirim pesan lewat ilmu telepati kepada Prabu Danaraja bahwa orang yang dinanti sudah muncul.
Sementara itu, di negeri Lokapala' Prabu Danaraja menerima pesan itu dan segera bergegas menyusul ke medan perang.

Prabu Kartawirya dengan gagah berani melawan seluruh prajurit Lokapala yang mulai mundur perlahan.
Melihat sang Prabu beraksi, seluruh prajurit Mahespati ikut terbakar semangatnya dan mengikuti Prabu Kartawirya untuk membantu memundurkan musuh.
Tetapi, perlawanan pasukan Mahespati tidak berlangsung lama' dari jauh muncullah orang yang selama ini ditunggu. Dialah Prabu Danaraja dari Lokapala yang mulai menampakkan diri turut berperang.
Keadaan semakin mencekam dan sulit diprediksi, langit pun mulai mendung dan suara petir terdengar mengguncang mayapada.

Prabu Danaraja memperlihatkan kegagahannya dengan menaiki seekor kuda cokelat. Sambil membawa sebilah pedang, Prabu Danaraja melaju kencang menerjang barisan lawan.
Prabu Kartawirya menyambut kedatangan lawan utamanya, sambil mempersiapkan diri' sang Prabu memikirkan siasat guna mengalahkan raja Lokapala itu.
Suasana mengguncang jagad raya karena Prabu Kartawirya dan Prabu Danaraja akan beradu senjata pusaka. Maka terjadilah adu panah dari jarak jauh antara dua orang raja.
Prabu Kartawirya melepas panah-panah saktinya, begitu pun Prabu Danaraja yang juga melakukan hal serupa. Seluruh prajurit yang masih terlibat baku hantam malah turut menjadi korban hujan jemparing panah.
Tidak sedikit korban bergelimpangan diantara kedua belah pihak, prajurit Mahespati dan Lokapala bubar berantakan karena mencoba menghindar dari serbuan anak panah.

Para Dewa menyaksikan pertarungan sengit antara Prabu Kartawirya dengan Prabu Danaraja, mereka begitu khawatir lantaran raja Lokapala tersebut memiliki jurus rahasia yang membuatnya sulit dikalahkan yakni Jurus Rawarontek.
Dari kahyangan Jonggirisaloka, Batara Guru mulai was-was jika Jurus Rawarontek muncul dimedan perang karena bisa membahayakan semua orang.
Lantas, Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk datang ke Pertapaan Grastina dimana Dewi Danuwati berada. Tugasnya sudah jelas, ialah membantu istri Prabu Kartawirya bersalin dengan bantuan para Bidarari sebagai bidan.
Batara Narada segera memenuhi perintah, patih para dewa itu turun ke bumi bersama para bidadari menuju Pertapaan Grastina.
Cerita berganti di pertapaan Grastina, Resi Gotama dan Dewi Indradi masih mengawasi kondisi kesehatan Dewi Danuwati yang mulai labil akibat kontraksi.
Resi Gotama berharap kondisi permaisuri Prabu Kartawirya baik-baik saja, tapi rupanya diluar perkiraan sang dewi mulai merasakan sakit yang teramat sangat.
Resi Gotama memerintahkan Dewi Indradi menenangkan Dewi Danuwati yang mulai kesakitan, suara teriakan semakin nyaring terdengar.

Untungnya Batara Narada datang tepat waktu, bersama para bidadari dewa bertubuh cebol itu mengunjungi Resi Gotama yang sedang khawatir.
Resi Gotama menghaturkan sembah, Batara Narada menerima sembah sang Begawan. Kali ini tujuan Batara Narada ke bumi adalah turut membantu kelahiran Dewi Danuwati. Resi Gotama cukup senang dengan apa yang ditawarkan oleh Batara Narada.
Tanpa basa-basi, Batara Narada segera memerintahkan para bidadari memproses persalinan Dewi Danuwati agar cepat selesai.
Suasana dramatis mewarnai jalannya proses persalinan, Dewi Danuwati mulai menjalani tahap demi tahap persalinan yang menyakitkan.
Keringat dan jerit menjadi bumbu yang tidak bisa terlepas, para bidadari dengan cekatan dan telaten berhasil membuat Dewi Danuwati sukses melahirkan seorang anak.
Sesuai ramalan, anak yang lahir berjenis laki-laki dengan cahaya berkilau. Bisa jadi anak yang baru lahir itu adalah titisan Batara Wisnu.
Kemudian setelah semuanya berlalu, para bidadari melapor kepada Batara Narada bahwa persalinan telah usai dan berjalan sukses.
Lalu, Resi Gotama dan Dewi Indrandi ikut masuk ke dalam menemui Dewi Danuwati. Mereka berdua memuji syukur atas keselamatan sang dewi, rupanya tidak hanya sang bayi yang lahir tetapi juga munculnya sebuah senjata sakti.
Resi Gotama mengambil senjata sakti itu disamping sang bayi, pertapa tua itu mengatakan bahwa senjata sakti ini adalah milik Batara Wisnu.

Batara Narada segera memerintahkan Resi Gotama untuk mengirim senjata itu kepada Prabu Kartawirya yang sedang bertempur guna mengusir wadyabala Lokapala.
Resi Gotama pun lantas berangkat ke medan perang menemui Prabu Kartawirya. Cerita berganti, kali ini di medan perang' Prabu Kartawirya dengan gesit melakukan serangan-serangan terhadap Prabu Danaraja.
Keduanya saling beradu kesaktian, tidak jarang banyak prajurit dari kedua belah pihak yang terkena sisa serangan.
Ada yang terbakar tubuhnya, ada yang patah kakinya, ada yang putus leher dari kepalanya dan ada yang buntung kedua tangannya.
Dampak dari pertarungan itu menyebabkan korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Nyatanya dua raja besar itu tidak ada yang mau mengalah.

Untuk mengakhiri pertarungan, Prabu Kartawirya menggunakan senjata pusaka berupa anak panah. Dilepaskanlah anak panah itu dan tepat menebas leher Prabu Danaraja. Hebatnya, Prabu Danaraja tidak bisa mati karena tubuhnya dilindungi oleh Aji Rawarontek yang membuat organ tubuhnya kembali bersatu seperti sedia kala.
Tidak kehilangan akal, Prabu Kartawirya kembali melepas anak panah yang jumlahnya lebih banyak. Satu per satu banyak anak panah yang melukai tubuh Prabu Danaraja.
Kedua tangan dan kaki jebol terhempas anak panah, bahkan kepala sang prabu juga ikut jebol terhempas pula. Tetapi, sekali lagi Aji Rawarontek bekerja cepat dan kembali utuh kedua tangan maupun kaki hingga kepalanya.
Prabu Kartawirya begitu jengkel menyaksikan pemandangan yang tidak lazim itu. Ia berganti senjata dari busur ke senjata keris pusaka.
Raja Mahespati itu mencoba bertarung secara dekat agar bisa mencari titik lemahnya. Namun, berkali-kali ditusuk bahkan ditebas sekali pun' Prabu Danaraja begitu digdaya tiada tanding.

Prabu Danaraja amat sakti, ia tidak bisa dikalahkan begitu saja.
Pasukan dari pihak Mahespati mulai khawatir jika raja mereka akan kalah dalam pertempuran.
Prabu Kartawirya semakin nekat, ia akhirnya berani menghadapi raja Lokapala itu dari jarak dekat.
Maka adu hantam tidak terhindarkan, tebasan keris melukai tubuh Prabu Danaraja hingga darah mengalir seperti tetesan air hujan.
Meski sudah dilukai, raja Lokapala putra Begawan Wisrawa itu masih terlihat tangguh bahkan jumawa.

Prabu Kartawirya mulai putus asa karena berkali-kali menyerang tidak kunjung berhasil.
Lalu, dari arah belakang' muncul Resi Gotama membantu Prabu Kartawirya dengan membawa senjata cakra. Alangkah gembiranya Prabu Kartawirya setelah diberi bantuan, maka sang prabu kembali bertarung.
Melihat Prabu Kartawirya membawa senjata cakra, Prabu Danaraja jadi teringat pesan kakeknya yakni Prabu Lokawana raja Lokapala terdahulu.
Mendiang Prabu Lokawana pernah bercerita bahwa kelak akan muncul ksatria penitisan Bathara Wisnu dengan membawa senjata cakra untuk menumpas angkara murka.
Prabu Danaraja mulai ketakutan, ia memerintahkan seluruh pasukan untuk mundur agar tidak merasakan kedahsyatan senjata cakra.

Seluruh wadyabala Lokapala mundur atas perintah Prabu Danaraja karena melihat bantuan datang bagi Prabu Kartawirya.
Akhirnya pertarungan pun dimenangkan tanpa harus mengorbankan lebih banyak korban.
Meski begitu, Prabu Kartawirya masih khawatir jika mereka kembali lagi menduduki bumi Mahespati. Namun, Resi Gotama menjamin bahwa semua masalah keamanan tidak akan mengacaukan kedamaian di masa mendatang.


(Bersambung)


Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 03)

 Gambar : Resi Gotama

Prabu Kartawirya memutuskan untuk menyerang pasukan Lokapala pada esok hari, kali ini sang Prabu menargetkan kemenangan untuk mencegah pertempuran yang jauh lebih ganas.
Mengingat kondisi kutaraja sudah porak-poranda akibat serbuan musuh, Prabu Kartawirya menyarankan Patih Surata mengorganisir penduduk untuk segera memperbaiki seisi kota agar tertata rapi.

Sedangkan Senapati Kartanadi ditugaskan memimpin pertempuran melawan wadyabala Lokapala yang diduga bersembunyi di tengah hutan.
Mereka siap sedia menjalankan tugas esok pagi dan pertemuan pun selesai pada malam itu.
Seusai mengadakan pertemuan, Prabu Kartawirya menemui sang Permaisuri Dewi Danuwati yang sedang hamil. Diceritakan Prabu Kartawirya khawatir dengan sang istri yang berbadan dua, kekhawatiran Prabu Kartawirya adalah bagaimana bisa sang permaisuri yang hendak memasuki usia tua kandungan dapat melahirkan dalam situasi yang kurang aman.

Prabu Kartawirya mendapat ide, ia akhirnya mengungsikan Dewi Danuwati ke pertapaan Grastina yang merupakan lokasi paling aman.
Kemudian Prabu Kartawirya segera mengungsikan Dewi Danuwati ke pertapaan Grastina dibawah pengawasan Resi Gotama yang tidak lain adalah guru semasa masih menjadi pangeran.
Resi Gotama menerima kehadiran Prabu Kartawirya, sang Resi juga siap menjalankan perintah demi keselamatan permaisuri.
Bahkan selama Dewi Danuwati berada di pertapaan Grastina, ia ditemani Dewi Indrandi yang merupakan istri Resi Gotama.
Dalam sebuah pertemuan, Resi Gotama memberitahu kabar baik untuk Prabu Kartawirya bahwa sebentar lagi titisan Bhatara Wisnu akan turun ke alam mayapada memberantas angkara murka. Prabu Kartawirya ingin tahu, siapakah titisan Bhatara Wisnu yang dimaksud ?
Dengan ringkas, Resi Gotama mengatakan bahwa titisan Bhatara Wisnu tersebut adalah anak yang dikandung Dewi Danuwati.

Alangkah gembiranya Prabu Kartawirya mengenai berita baik nan agung itu. Ini merupakan sebuah kehormatan bagi dirinya, karena dipercaya menjadi Ayah dari seorang ksatria titisan Dewa.
Resi Gotama mengatakan sudah saatnya Dewi Danuwati untuk bersalin, jaraknya sekitar seminggu lagi. Lantas, Prabu Kartawirya tetap tinggal di pertapaan Grastina selama seminggu guna menanti kelahiran sang janin.
Tak disangka saat pembicaraan antara Prabu Kartawirya dengan Resi Gotama berlangsung, datanglah Bhatara Narada menemui kedua figur terhormat itu.
Dengan penuh kegembiraan, Bhatara Narada mengatakan bahwa titisan Bhatara Wisnu akan segera lahir. Dan yang lebih menggembirakan lagi bukan cuma satu tetapi ada dua' namun yang kedua ini masih dirahasiakan.
Yang jelas titisan Bhatara Wisnu yang kedua ini akan menjadi pendamping anak yang dikandung Dewi Danuwati kelak.
Menurut petunjuk, titisan Bhatara Wisnu yang kedua itu nantinya akan menjadi Patih di negeri Mahespati pada zaman pemerintahan sesudah Prabu Kartawirya.
Uniknya, titisan Bhatara Wisnu yang kedua ini terlahir dari keluarga trah Witaradya/kaum Brahmana dan memiliki senjata ampuh bernama Cakrabaskara.
Sedangkan janin yang dikandung Dewi Danuwati adalah titisan Bhatara Wisnu dengan kelebihan mampu berubah wujud menjadi Brahala Sewu/Raksasa Berkepala Seribu yang mengerikan.

Bhatara Narada mengatakan bahwa titisan Wisnu yang akan turun ke mayapada nanti dipercaya akan menjadi pemimpin bijaksana dan mampu memakmurkan rakyatnya.
Atas saran Bhatara Narada, Prabu Kartawirya harus melakukan ritual untuk menyambut kelahiran sang jabang bayi dengan menyiapkan sesaji berupa seekor kuda.
Prabu Kartawirya menyanggupi dawuh Bhatara Narada, sedangkan Resi Gotama ditugaskan untuk memimpin ritual penyambutan kelahiran.
Seusai memberitahu, Bhatara Narada undur diri dari hadapan kembali ke Kahyangan. Kemudian, Prabu Kartawirya segera melaksanakan apa yang diamanatkan tadi.
Keesokan harinya, seluruh cantrik di pertapaan Grastina bergotong royong menyiapkan piranti guna menyempurnakan sebuah ritual.
Selesai menyiapkan piranti, para Cantrik melapor bahwa seluruh persiapan telah matang dan siap dilaksanakan.

Dengan khidmat ritual suci di pertapaan Grastina berlangsung, seluruh persiapan sudah dijalankan. Giliran Prabu Kartawirya dan Dewi Danuwati yang sudah memakai busana serba putih disirami air bunga tujuh rupa.
Resi Gotama membacakan mantra dan doa-doa suci kepada Dewata agar keselamatan janin yang dikandung terjaga dengan baik.
Berikutnya Resi Gotama memimpin penyerahan sesaji berupa seekor kuda, dalam bahasa sansekerta disebut Aswawedha. Kemudian kuda yang sudah dimandikan itu dilepas sebagai pertanda bahwa seluruh malapetaka akan segera menjauh dari seluruh kehidupan manusia.

Cerita berganti, dimana suasana ramai meliputi wilayah perbatasan negeri Mahespati.
Patih Surata dan Senapati Kartanadi berdiri memimpin pasukan guna menggempur dan menekan para prajurit Lokapala yang diduga bersembunyi di hutan.
Seluruh pasukan siap siaga dengan persenjataan lengkap, mereka menunggu aba-aba dari Senapati Kartanadi. Meskipun belum memulai penyerangan, Patih Surata meminta agar tetap waspada karena takut diserang secara mendadak.
Senapati Kartanadi begitu khawatir dengan keadaan Prabu Kartawirya yang kini berada di pertapaan Grastina bersama sang permaisuri.
Namun, Patih Surata menjamin keselamatan sang Prabu aman karena berlindung di tempat dimana dahulu menimba ilmu.

Seluruh pasukan dari Mahespati terlihat waspada dan tetap pada posisinya. Prajurit berkuda masih di bagian belakang prajurit bersenjatakan tombak, Prajurit bersenjatakan pedang dan prajurit penamah juga siap.
Lalu, dari kejauhan terdengar suara hentakan yang menyerupai suara terompah. Patih Surata menduga suara terompah itu adalah hentakan kaki pasukan dari Lokapala yang mengiring Patih Banendra sebagai panglima perang.
Patih Surata sudah menanti kemunculan Patih Banendra yang dahulu ia hadapi saat pertempuran di kutaraja.
Kemudian, semakin dekat suara langkah pasukan Lokapala mendekati rombongan pasukan Mahespati. Akhirnya muncullah mereka yang sudah lama menanti-nanti, tanpa aba-aba serbuan dimulai dari pihak Lokapala yang dikomandoi oleh Patih Banendra.
Patih Surata tidak tinggal diam, pasukan Mahespati serukan maju melawan pasukan dari Lokapala.

Pertempuran antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari, Patih Surata dan Senapati Kartanadi menyerang pasukan pimpinan Patih Banendra dari Lokapala.
Denting pedang dan lesatan anak panah mewarnai jalannya pertempuran di perbatasan.
Patih Surata berharap Prabu Kartawirya segera menyusul rombongan pasukan Mahespati agar moral seluruh wadyabala bisa berkobar layaknya api tersiram minyak.
Patih Surata belum mau menyerang dulu karena Patih Banendra belum juga turun gelanggang. Sementara itu Senapati Kartanadi maju melawan ribuan prajurit Lokapala yang lumayan mumpuni.
Akibatnya tebasan pedang yang diayunkan Senapati Kartanadi berhasil menghabisi puluhan nyawa prajurit yang mengepung dirinya.
Sedangkan prajurit Mahespati yang mengawalnya menyebar membantu lainnya demi memperoleh dominasi tanpa balasan.
Patih Banendra punya rencana, dimana ia sudah memprediksi akan dikalahkan. Tetapi, itu baru sekedar mengulur waktu karena orang nomor satu di Kerajaan Lokapala akan datang mengikuti perang.

Patih Surata dari jauh begitu heran dengan mimik wajah Patih Banendra yang tidak khawatir dengan kondisi pasukannya yang kian menipis.
Lalu, Patih Surata memerintahkan seluruh pasukan untuk memperlambat tempo penyerangan agar menghemat tenaga. Semua prajurit yang mendengar suaranya segera melaksanakan perintahnya.
Cerita berganti di pertapaan Grastina, Prabu Kartawirya sedang memakai baju perangnya dan mempersiapkan senjata tempur untuk menyusul rombongan pasukan Mahespati.
Dewi Danuwati takut bila terjadi apa-apa pada suaminya itu, namun Resi Gotama mencoba menenangkan hati Dewi Danuwati yang kala itu sedang hamil tua. Begitu pun Dewi Indrandi yang ikut mengawasi kondisi fisiknya.
Prabu Kartawirya pamit, ia segera berangkat menuju medan perang menemui Patih Surata yang masih bergelut dengan suasana penuh kekejaman.

(Bersambung)

Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 02)


 Gambar : Patih Surata

Tanpa disadari, dari jauh terlihat perahu-perahu besar menyeberangi Selat Selong menuju utara.
Ternyata dari sana ada sekelompok prajurit yang berasal dari negeri Lokapala, artinya memang Prabu Danaraja benar-benar ingin menyerbu negeri Mahespati karena dianggap ikut campur atas sengketa negeri tersebut dengan negeri Alengka.
Pasca kejadian tempo hari, Prabu Danaraja memerintahkan seluruh prajurit Lokapala menyerbu Mahespati karena dianggap mengganggu urusan pribadi.
Negeri Mahespati dalam bahaya, lalu bagaimanakah penjagaan di pos yang dilakukan prajurit-prajurit Mahespati ?

Beberapa anggota intelijen Kerajaan Mahespati yang mengawasi gerak-gerik pasukan dari Kerajaan Lokapala melaporkan kehadiran musuh.
Maka, Prabu Kartawirya memerintahkan untuk segera menyiapkan bala bantuan dan bala cadangan untuk siasat perang yang jitu.
Kali ini Patih Surata yang diberi wewenang untuk membuat formasi tempur. Bahkan Senapati Kartanadi turut menyimak beberapa himbauan agar tidak menganggap remeh Kerajaan Lokapala yang katanya memiliki pasukan mumpuni.


Pasukan kerajaan Lokapala semakin mendekat dan akhirnya secara menyeluruh berhasil mengepung beberapa jalur menuju kutaraja Mahespati.
Akhirnya prajurit-prajurit Mahespati yang berada di perbatasan berjumpa dengan prajurit-prajurit Lokapala,
Mau tidak mau kedua belah pihak pun bentrok, para prajurit kerajaan Lokapala berusaha menekan para prajurit Mahespati agar terdesak sampai ke kutaraja untuk diperlemah.
Akibatnya tidak sedikit wadyabala Mahespati gugur, mereka jadi bulan-bulanan pasukan Lokapala. Dengan mudah, pasukan dari Lokapala menembus sektor vital sehingga negeri Mahespati benar-benar terkepung.

Negeri Mahespati dalam keadaan darurat keamanan, kerajaan itu diserang hingga seluruh pusat kota terjerembab.
Beberapa telik sandi mulai berlarian menuju istana, mereka melapor kepada Patih Surata dan Senopati Kartanadi sambil membawa berita bahwa pasukan besar dari negeri Lokapala telah berhasil menyerbu kutaraja.
Senopati Kartanadi mulai kehilangan kesabaran atas laporan yang disampaikan salah satu telik sandi. Tanpa berkompromi, ia segera maju sendiri memimpi serangan guna mengusir pasukan kerajaan Lokapala.
Patih Surata melihat bahwa kondisi semacam ini harus disampaikan kepada Prabu Kartawirya, lalu bergegaslah sang patih menemui Prabu Kartawirya.
Ketika menemui sang Prabu, rupanya Prabu Kartawirya sedang siaga menjaga permaisurinya yakni Dewi Danuwati yang mengandung tua.
Prabu Kartawirya memerintahkan untuk segera memimpin pasukan untuk mengusir musuh dari kutaraja, dawuh sang prabu lalu dilaksanakan.

Mau tidak mau terjadilah perang di dalam kutaraja sehingga banyak korban berjatuhan yang tidak terhitung.
Patih Surata menyadari bahwa berperang di dalam pemukiman lebih sulit karena masih banyak penduduk yang menetap dan balum banyak yang mengungsi.
Bahkan beberapa orang yang tidak bersenjata dihabisi oleh prajurit-prajurit Lokapala tanpa ampun, lalu Patih Surata segera melakukan operasi darurat yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Perang di dalam kutaraja begitu mengerikan, hampir beberapa sudut dipenuhi prajurit yang sedang adu kadigdayan. Senapati Kartanadi yang memimpin pasukan bahkan harus mengeluarkan banyak jurus untuk menekan musuh agar keluar dari dalam kutaraja.
Negeri Mahespati benar-benar bagaikan bangkai yang dikerumuni jutaan semut, itulah keadaan yang diceritakan saat ini.

Pasukan negeri Lokapala memang sudah mendominasi jalannya pertempuran, satu demi satu beberapa titik sudah dikuasai.
Operasi pengepungan kutaraja dilakukan oleh Patih Banendra, ia adalah patih senior yang merupakan sesepuh sejak jaman pemerintahan Prabu Wisrawa.
Patih Banendra adalah sosok penting dibalik suksesnya penyerangan negeri Lokapala terhadap negeri Mahespati.
Tidak disangka Patih Banendra bertemu dengan Patih Surata di tengah kota, mereka bertempur memihak pasukannya masing-masing.
Jalannya pertempuran yang seru membuat kedua orang terkemuka ini saling memperlihatkan kesaktiannya. Patih Banendra memang seorang ksatria yang tiada tanding, pengalaman bertempurnya sudah teruji.
Patih Banendra sudah bukan sosok yang asing, mengingat dia memimpin peperangan secara langsung dibawah perintah Prabu Danaraja.

Patih Banendra dan Patih Surata saling beradu kesaktian, mereka memang ksatria yang pilih tanding.
Kedua-duanya memiliki cara bertempur yang sama, adu pedang adalah keahlian mereka.
Tebasan pedang-pedang mereka sangatlah cepat bahkan mampu memotong batu, hingga pada akhirnya Patih Banendra dan Patih Surata imbang dalam pertarungan itu.
Karena remis, maka Patih Banendra yang mengakui kehebatan Patih Surata segera mundur untuk memancing keluarnya wadyabala Mahespati.
Ini sengaja dilakukan agar jumlah korban tidak bertambah, apalagi sampai harus membayar ganti rugi.
Patih Surata merasa lega, karena setelah penyerbuan' pasukan dari Lokapala segera mundur dari medan tempur yang berada di kutaraja.

Namun, Patih Surata masih waspada karena itu pasti taktik untuk menghimpun formasi tempur.
Kemudian Patih Surata menghadap Prabu Kartawirya untuk melapor bahwa prajurit-prajurit Lokapala sudah mundur.
Prabu Kartawirya dengan refleks segera memerintahkan untuk tetap waspada agar tidak terpancing oleh siasat musuh.
Patih Surata mengiyakan perintah itu, lantas Patih Surata kembali menemui Senapati Kartanadi beserta seluruh wadyabala Mahespati untuk menghentikan adu senjata untuk sementara waktu.
Malam pun datang menyelimuti seluruh negeri Mahespati, seluruh punggawa berkumpul di tempat rahasia untuk membicarakan mengenai peristiwa penyerangan kutaraja tadi siang.
Dalam pembicaraan itu, Patih Surata menerangkan bahwa seluruh prajurit Lokapala sudah mundur tapi belum pasti meninggalkan wilayah Mahespati.
Prabu Kartawirya juga berfikir demikian, sang prabu menduga bahwa wadyabala pimpinan Patih Banendra sedang menyiapkan pasukan tambahan yang diperkirakan datang malam ini guna penyerangan hari esok.
Prabu Kartawirya begitu khawatir jika penyerangan kembali terjadi, dengan percaya diri Patih Surata dan Senapati Kartanadi siap siaga menjaga keamanan agar peristiwa itu tidak kembali memakan korban.

(Bersambung)

Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 01)

Gambar : Prabu Danaraja

Suatu hari di negeri Mahespati, ada seorang raja yang luar biasa kekuasaannya dan sakti mandraguna. Dialah Prabu Kartawirya yang berkuasa atas wewengkon negeri Mahespati.
Ia merupakan keturunan dari Prabu Heriya, pendiri negeri Mahespati.
Hari itu ia dihadapkan dengan seluruh jajaran menteri dan pejabat kerajaan.

Pada hari itu Prabu Kartawirya sedang berbahagia bahwa permaisuri tercinta, Dewi Danuwati sedang hamil.
Berita ini membuat semua pejabat negeri Mahespati bersukacita karena nantinya akan lahir calon penguasa baru kelak.
Prabu Kartawirya berharap kondisi sang permaisuri baik-baik saja, mengingat saat ini negeri Mahespati sedang dirundung krisis keamanan.
Negeri Mahespati kali ini akan diganggu keamanannya akibat gagalnya sebuah hubungan kerjasama dengan Negeri Lokapala.
Negeri Lokapala berniat meminta bantuan kepada Negeri Mahespati agar mau memerangi Negeri Alengka yang berstatus daerah jajahan Lokapala.
Namun, pihak negeri Mahespati tidak mau memberikan bantuan karena dianggap hendak membinasakan negeri Alengka.


Negeri Mahespati sejatinya tidak menghendaki adanya peperangan antara Negeri Lokapala dengan Negeri Alengka yang terhitung masih dalam satu pulau.
Prabu Kartawirya mencoba mencairkan hubungan kedua negara yang sedang berseteru itu, namun ternyata malah menjadi sebuah bantahan oleh Negeri Lokapala.
Konon, Negeri Lokapala dipimpin oleh Prabu Danaraja yang merupakan putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati.
Prabu Danaraja waktu itu ingin sekali membinasakan Negeri Alengka yang dinilai jarang memberikan upeti kepada Negeri Lokapala. Sebuah peraturan berlaku mengatakan bahwa negeri jajahan dibawah kekuasaan Negeri Lokapala yang tidak pernah membayar upeti maka akan dihancurkan.
Itulah yang dikhawatirkan Prabu Kartawirya sebagai raja Negeri Mahespati, jika Lokapala dan Alengka berseteru terus menerus maka akan menjadi perang besar.

Prabu Kartawirya mengutus Patih Surata untuk berangkat ke negeri Lokapala untuk meminta kejelasan mengenai nasib negeri Alengka.
Patih Surata pun berangkat menuju negeri Alengka sambil membawa sepucuk surat yang ditulis oleh Prabu Kartawirya sendiri.
Dengan menaiki perahu penyeberangan, Patih Surata pergi sambil didampingi Senapati Agung Kartanadi berlayar menuju negeri Lokapala.
Harapan Prabu Kartawirya setelah mengirim surat lewat utusan Patih Surata dan Senapati Agung Kartanadi adalah mencairnya perseteruan antara negeri Lokapala dengan negeri Alengka.

Sesampainya di negeri Lokapala, Patih Surata dan Senapati Agung Kartanadi segera menghadap Prabu Danaraja yang sedang didampingi Patih Banendra.
Patih Surata datang membawa surat berisi usulan agar negeri Lokapala tidak mencaplok wilayah negeri Alengka, surat itu kemudian dibaca oleh Prabu Danaraja.
Lalu, setelah membaca isi surat itu Prabu Danaraja murka karena keinginannya untuk membasmi kaum denawa tidak disetujui.
Akhirnya, Patih Surata diusir dari negeri Lokapala dan rencana mendamaikan situasi di negeri itu gagal. Sebagai balasan, negeri Lokapala akan menyerbu negeri Mahespati dengan alasan bahwa Prabu Kartawirya telah ikut campur urusan negara lain.

Keadaan mulai gawat, Patih Surata dan Senapati Bambang Kartanadi undur diri dari hadapan Prabu Danaraja.
Ketika sudah keluar dari keraton, rupanya mereka berdua sudah dikepung seluruh prajurit Lokapala. Maka pertarungan pun tak terelakkan lagi, mau tidak mau misi perdamaian berubah menjadi misi pertumpahan darah.
Keributan terjadi diluar, Patih Surata menganggap ini adalah cara seorang raja menerima tamu dari luar yang tidak sependapat dengannya.

Adu fisik tidak bisa dihindari, seluruh prajurit Lokapala menyerang Patih Surata dengan berbagai macam senjata.
Mulai dari pedang, tombak dan panah mulai membuat keadaan semakin brutal. Patih Surata tidak tinggal diam, ilmu kanuragan yang ia dapat dari Begawan Jumanten, tidak lain dan tidak bukan adalah ayah Senapati Kartanadi ia gunakan untuk menyerang prajurit.
Namun, karena ini hanya sebatas misi diplomatik maka Patih Surata tidak akan membunuh satu orang pun. Ia hanya cukup membuat seluruh lawannya kelelahan.
Bahkan berbagai macam jurus tipuan digunakan untuk menyerang.

Prajurit Lokapala kian terdesak akibat jurus-jurus tipuan milik Patih Surata.
Alhasil, seluruh lawan sudah disingkirkan tanpa menelan korban jiwa. Namun, pertarungan belum selesai...
Senapati Kartanadi masih dalam keadaan kacau, ia masih sibuk menghindari amukan prajurit bersenjatakan tombak. Namun, apa yang terjadi setelah itu' Senapati Kartanadi berhasil membuat konsentrasi semua lawannya buyar.

Kemudian, Senapati Kartanadi menemui Patih Surata dan menyarankan rencana untuk pergi dari Kerajaan Lokapala.
Patih Surata setuju dengan saran Senapati Kartanadi, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk meninggalkan negeri itu agar tidak terjadi huru-hara lagi.
Misi Perdamaian berjalan gagal, tidak ada cara lain selain itu karena Kerajaan Lokapala masih bernafsu untuk menduduki Kerajaan Alengka.
Cerita berganti, Prabu Kartawirya duduk di atas singgasana sambil ditemani para nayaka praja. Sang prabu sedang mengadakan perjamuan minum teh untuk mencairkan suasana setelah beberapa waktu memimpin jalannya sidang istimewa.

Tanpa diduga kembalilah Patih Surata dan Senapati Kartanadi, mereka melaporkan bahwa misi telah gagal.
Prabu Kartawirya pun menyadari bahwa kejadian ini tak bisa dielak lagi, karena masalah ini sudah mencapai titik terpanas. Kemudian, Prabu Kartawirya segera memerintahkan Senapati Kartanadi membentuk formasi penjagaan ketat di seluruh wilayah Mahespati. Hal ini dilakukan agar musuh yang terlibat konfrontasi tidak mudah masuk ke wilayah negeri Mahespati, Senapati Kartanadi setuju atas usulan Prabu Kartawirya dan segera melaksanakannya.

Lalu, seluruh prajurit Mahespati segera melakukan penjagaan yang cukup ketat di seluruh wilayah perbatasan.
Mereka terdiri dari beberapa kompti pasukan kelas atas dan kumpulan jago-jago tanding yang dihasilkan dari pertapaan.
Semua siap siaga dalam menghadapi segala kemungkinan, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Prabu Kartawirya mewaspadai kedatangan pasukan musuh agar tidak masuk wilayah kerajaan Mahespati.
Apalagi, saat ini permaisuri Prabu Kartawirya sedang hamil tua dan tinggal menunggu hari kelahiran si jabang bayi.

Malam pun menjelang, hawa dingin mulai mendekap seluruh negeri Mahespati.
Prajurit-prajurit Mahespati sibuk berjaga di pos penjagaan, ada yang sedang fokus menatap ke depan bahkan ada yang tertidur karena lelah.
Prabu Kartawirya menatap langit sambil memanjatkan doa kepada dewata agar tidak terjadi hal yang membahayakan seluruh rakyat Mahespati.

(Bersambung)

Selasa, 07 Agustus 2018

Puisi : Seraut Wajah Perawan

Senyum manis dari bibir yang tipis
Oh, terlihat begitu manis
Mengobati luka hati yang teriris-iris
Oh, betapa sangat manis
Gairah di dalam jiwa bagaikan seekor ikan
Terpancing oleh bayangan umpan
Merangsang kerasnya nurani mencairkan diri
Menjadi sangan dingin sekali
Putih merona seraut wajahnya
Membuat terdiam terpana
Tak berdaya orang melihatnya
Seakan diserap semua dahaga
Akankah dirinya menyatu dalam jiwa
Untuk mengisi kekosongan di dalam raga
Merangkul seluruh isi jiwa
Mencumbui seluruh isi raga
Perawan semakin rawan
Terseret arus zaman
Kehilangan kebanggaan
Semakin tak karuan

Sabtu, 04 Agustus 2018

Puisi : Semakin Panas Semakin Membara

Aku tak terima dengan semua ini
Pengkhianatan yang sudah terjadi
Goreskan belati yang lukai dada
Membuatku begitu teramat murka

Janji-janjimu yang dahulu
Tak kunjung kau wujudkan
Yang ada hanya tinggalkan pilu
Terhempas badai di tengah lautan

Ingin rasanya aku menangis
Namun air mataku sudah habis
Ingin rasanya aku pergi darimu
Namun bayangmu menghantuiku

Semakin panas semakin membara
Bila kuingat senyuman wajahmu
Semakin panas semakin membara
Kala kuingat rayuan mautmu

Kalau saja aku menolak cintamu
Takkan begini jadinya nasibku
Terlambat sudah untuk sesali
Bila hati sudah terlanjur mati