Gambar : Sumantri Putra Suwandagni
Sepeninggal Resi Ramabargawa, beberapa saat kemudian Dewi Darini melahirkan seorang putra tampan bernama Sumantri atau disebut Bambang Sumantri. Kelahiran Sumantri tidak lepas dari campur tangan dewata, saat Sumantri dilahirkan' ternyata putra Suwandagni itu sudah membawa sebuah senjata pusaka dan dibekali kesaktian alami.
Senjata pusaka tersebut adalah gandewa emas yang beratnya melebih gandewa biasa, serta kesaktian yang langsung datang dari langit untuk melindungi Sumantri dari marabahaya. Ketika Sumantri hendak dipotong tali pusarnya, ternyata tidak ada satupun senjata yang bisa memotongnya.
Teringatlah Sang Suwandagni akan pesan Bathara Narada, akhirnya diambillah senjata pusaka yang sempat tersimpan di lemari. Akhirnya senjata itu dipakai untuk memotong tali pusar Sumantri. Begitu talinya dipotong, keajaiban pun terjadi dimana wujud tali pusarnya berubah menjadi bayi berwujud denawa bajang. Keanehan pun terjadi lagi, Sumantri yang tadinya berujud bayi segera berubah menjadi pemuda tampan tanpa proses yang jelas. Sang Suwandagni terheran dengan apa yang terjadi pada kedua anaknya itu.
Dewi Darini terkejut, mengapa semua ini bisa terjadi ?
Bertahun-tahun lamanya kehidupan di Ardisekar begitu damai, Sumantri dan Sukrasana telah menjalani berbagai macam pendidikan bersama murid-murid yang lain.
Sukrasana juga gemar bertapa seperti Sumantri, bahkan Sukrasana tidak pernah makan dan minum tanpa henti sampai berhenti bertapa. Sukrasana bisa sekuat itu menjalani laku brata sebagai pertapa karena dianugerahi kemampuan yang diluar nalar. Meski dia berwujud denawa bajang yang katanya hina dan nista itu, tetapi dia tetaplah adik Sumantri sekaligus putra seorang pertapa.
Sumantri bersemedi selama 30 hari tanpa henti sambil menahan haus dan lapar. Disitu kekuatan Sumantri harus terkendali agar bisa menahan nafsu angkara dalam jiwa. Sumantri terhitung titisan Bathara Wisnu dari sisi jiwa kesatrianya, bahkan kemampuan memanahnya setara dengan Bathara Wisnu sendiri ketika belum menitis.
Sumantri membuat seisi dunia gempar dengan semedinya, tidak terkecuali para Dewa yang merasakan wibawa kuat putra Suwandageni itu. Akhirnya turunlah Bathara Narada ke kaki gunung membangunkan Sumantri dari semedi. Ketika terbangun, Sumantri mendapat kabar dari Bathara Narada bahwa di negeri Maespati ada raja titisan Bathara Wisnu selain dirinya.
Sumantri mengabarkan bahwa dirinya menerima titah untuk mencari titisan Bathara Wisnu yang keberadaanya kini telah menjadi penguasa negeri Maespati. Suwandageni tahu, Sumantri memang bagian lain dari Wisnu karena sudah seharusnya titisan dewa berhak mencari titisan dewa yang lain meski dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Sebetulnya Suwandageni tidak mengizinkan putranya pergi karena ini akan membuat Sukrasana kehilangan, mengingat adiknya itu masih belum selesai tapa bratanya. Namun, keinginan kuat Sumantri tidak bisa dikalahkan oleh kekhawatiran ayahnya yang kini semakin menua. Maka tidak ada kata lain, restu pun diberikan kepada Sumantri untuk keselamatannya selama menjadi ksatria di Maespati.
Kemudian Sumantri mengundurkan diri dari pertapaan dan berangkat sambil mengendarai seekor kuda. Suwandageni cuma bisa menatap dari jauh kepergian anaknya, semoga tidak ada yang menghalau langkahnya' itulah kata dalam nurani sang ayah.
Sukrasana membawa perbawa yang mengguncang alam semesta karena semedinya itu. Tidak disangka, Bathara Narada mendatanginya dan membangunkannya dari semedi. Sukrasana dimintai keterangan oleh Bathara Narada mengenai apa maksud dibalik semedinya yang terkesan mengguncang itu.
Sukrasana mengakui dirinya ingin menjadi orang sakti yang berguna bagi seluruh masyarakat dan menentramkan umat manusia. Itulah yang diungkapkan Sukrasana ke hadapan Bathara Narada. Maka permintaan dikabulkan, Sukrasana dianugrahi kesaktian yang luar biasa dan pengetahuan setara dengan para brahmana. Kemudian Bathara Narada pamit dari hadapan Sukrasana kembali ke Kahyangan.
Namun, ini sudah menjadi kodrat dewata atas peristiwa yang menimpa keluarganya.
Bayi denawa bajang yang tercipta dari tali pusar Sumantri lantas diberi nama Sukrasana. Meski wujud Sumantri dan Sukrasana berbeda, tetapi mereka berdua diperlakukan sama seperti halnya yang lain.
Bertahun-tahun lamanya kehidupan di Ardisekar begitu damai, Sumantri dan Sukrasana telah menjalani berbagai macam pendidikan bersama murid-murid yang lain.
Olah kanuragan dan ilmu keagamaan sudah dipelajari sampai tuntas tanpa adanya halangan.
Sumantri yang merupakan anak tertua mampu menguasai jurus-jurus dan hafal ilmu tata negara.
Sukrasana yang cuma berujud denawa bajang juga tidak kalah hebat, meski wujudnya buruk rupa tetapi Sukrasana dikenal mumpuni dalam urusan ilmu keagamaan dan tidak kalah sakti dengan kakaknya.
Kesaktian yang dimiliki Sumantri terbilang diluar nalar bahkan hampir menyamai kesaktian dewa.
Buktinya Sumantri bisa berubah wujud menjadi Brahala Sewu dan mahir memanah tanpa melihat sasaran bahkan dengan mata tertutup.
Sedangkan Sukrasana meski bertubuh kecil namun memiliki kekuatan yang luar biasa.
Sukrasana mampu membawa gunung dengan satu jari dan mampu menyerap kekuatan alam untuk dijadikan sebagai tameng pelindung. Sukrasana bahkan mampu memperbanyak diri menjadi ratusan bahkan ribuan wujud. Itulah kesaktian yang dimilikinya sehingga tidak dianggap remeh oleh orang lain.
Sukrasana juga gemar bertapa seperti Sumantri, bahkan Sukrasana tidak pernah makan dan minum tanpa henti sampai berhenti bertapa. Sukrasana bisa sekuat itu menjalani laku brata sebagai pertapa karena dianugerahi kemampuan yang diluar nalar. Meski dia berwujud denawa bajang yang katanya hina dan nista itu, tetapi dia tetaplah adik Sumantri sekaligus putra seorang pertapa.
Untuk menyelesaikan masa pembelajaran, Sumantri dan Sukrasana harus menjalani semedi untuk mencapai kelulusan. Mereka berdua akhirnya mengindahkan dawuh ayah mereka untuk bersemedi. Mereka berdua bersemedi di tempat berbeda, Sumantri bersemedi di kaki gunung sedangkan Sukrasana bersemedi di tengah hutan.
Sumantri bersemedi selama 30 hari tanpa henti sambil menahan haus dan lapar. Disitu kekuatan Sumantri harus terkendali agar bisa menahan nafsu angkara dalam jiwa. Sumantri terhitung titisan Bathara Wisnu dari sisi jiwa kesatrianya, bahkan kemampuan memanahnya setara dengan Bathara Wisnu sendiri ketika belum menitis.
Sumantri membuat seisi dunia gempar dengan semedinya, tidak terkecuali para Dewa yang merasakan wibawa kuat putra Suwandageni itu. Akhirnya turunlah Bathara Narada ke kaki gunung membangunkan Sumantri dari semedi. Ketika terbangun, Sumantri mendapat kabar dari Bathara Narada bahwa di negeri Maespati ada raja titisan Bathara Wisnu selain dirinya.
Sumantri kaget bahwa ada titisan Bathara Wisnu yang lain, setelah mengetahui hal itu Sumantri ingin pergi ke Maespati untuk mencari raja titisan Bathara Wisnu yang tidak lain adalah belahan jiwa lain dari Sumantri. Kemudian, Bathara Narada kembali ke Kahyangan setelah menemui Sumantri di kaki gunung.
Mendapat berita dari Bathara Narada membuat Sumantri ingin segera mencari keberadaan titisan Wisnu yang lain. Tapi, sebelum berangkat ke Maespati ia harus meminta izin dahulu kepada ayahnya agar memperoleh restu. Kemudian Sumantri menyelesaikan semedi dan dianggap tuntas menjalaninya. Sumantri kembali ke pertapaan sambil membawa senyuman yang pertanda bahwa semedinya telah diterima oleh dewa.
Sumantri mengabarkan bahwa dirinya menerima titah untuk mencari titisan Bathara Wisnu yang keberadaanya kini telah menjadi penguasa negeri Maespati. Suwandageni tahu, Sumantri memang bagian lain dari Wisnu karena sudah seharusnya titisan dewa berhak mencari titisan dewa yang lain meski dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Sebetulnya Suwandageni tidak mengizinkan putranya pergi karena ini akan membuat Sukrasana kehilangan, mengingat adiknya itu masih belum selesai tapa bratanya. Namun, keinginan kuat Sumantri tidak bisa dikalahkan oleh kekhawatiran ayahnya yang kini semakin menua. Maka tidak ada kata lain, restu pun diberikan kepada Sumantri untuk keselamatannya selama menjadi ksatria di Maespati.
Kemudian Sumantri mengundurkan diri dari pertapaan dan berangkat sambil mengendarai seekor kuda. Suwandageni cuma bisa menatap dari jauh kepergian anaknya, semoga tidak ada yang menghalau langkahnya' itulah kata dalam nurani sang ayah.
Sementara itu di tengah Hutan, Sukrasana masih menjalani semedi dengan penuh khidmat.
Tapi, siapa sangka dibalik semedinya yang tekun itu membuat perbawa besar bagi seluruh penghuni hutan. Hewan-hewan buas seperti Harimau, Babi Hutan, Ular Berbisa, Trenggiling, Burung Gagak, Banteng dan seluruhnya tidak ada yang berani mendekati Sukrasana. Walaupun Sukrasana adalah manusia kerdil yang bertaring, tetapi dia juga termasuk seorang brahmana muda yang sakti.
Sukrasana membawa perbawa yang mengguncang alam semesta karena semedinya itu. Tidak disangka, Bathara Narada mendatanginya dan membangunkannya dari semedi. Sukrasana dimintai keterangan oleh Bathara Narada mengenai apa maksud dibalik semedinya yang terkesan mengguncang itu.
Sukrasana mengakui dirinya ingin menjadi orang sakti yang berguna bagi seluruh masyarakat dan menentramkan umat manusia. Itulah yang diungkapkan Sukrasana ke hadapan Bathara Narada. Maka permintaan dikabulkan, Sukrasana dianugrahi kesaktian yang luar biasa dan pengetahuan setara dengan para brahmana. Kemudian Bathara Narada pamit dari hadapan Sukrasana kembali ke Kahyangan.
Sepeninggal Bathara Narada, Sukrasana kembali pulang ke pertapaan. Namun, ia tidak mendapati Sumantri' lantas ia bertanya kemana kakaknya pergi ?
Tanpa mengatakan sesuatu, Resi Suwandagni memandang tempat penyimpanan senjata. Lalu, Sukrasana melihat penyimpanan senjata itu ternyata tidak ada isinya lagi. Panah, Busur, Keris dan Pedang sudah tidak berada di dalam isinya. Pertanda Sumantri telah turun gunung untuk mencari pengakuan ke dunia luar.
Sukrasana hanya bisa tertunduk lesu melihat kehampaan di dalam pertapaan. Selama berhari-hari Sukrasana hanya bisa melamun meratapi kepergian kakaknya tanpa pamit itu.
Tidak lama, beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa negeri Mahespati baru saja mengangkat Patih baru. Berita itu tersiar lewat pembicaraan para cantrik yang baru saja pulang berdagang di kutaraja.
Patih baru kerajaan Mahespati itu adalah Sumantri, putra Resi Suwandagni yang tempo hari diratapi kepergiannya oleh Sukrasana. Mendengar berita itu, Sukrasana tergugah niatnya untuk menemui kakak lelakinya yang kini sudah jadi orang nomor dua di Mahespati. Sukrasana memohon izin untuk menemui Sumantri sekaligus mengucapkan selamat atas keberhasilannya menjadi patih.
Suwandagni hanya bisa terdiam melihat raut wajah Sukrasana yang penuh rasa ingin tahu. Sejatinya sang resi ingin jujur kepada anak nomor duanya itu, tetapi berat untuk diucapkan.
Tanpa mengatakan sesuatu, Resi Suwandagni memandang tempat penyimpanan senjata. Lalu, Sukrasana melihat penyimpanan senjata itu ternyata tidak ada isinya lagi. Panah, Busur, Keris dan Pedang sudah tidak berada di dalam isinya. Pertanda Sumantri telah turun gunung untuk mencari pengakuan ke dunia luar.
Sukrasana hanya bisa tertunduk lesu melihat kehampaan di dalam pertapaan. Selama berhari-hari Sukrasana hanya bisa melamun meratapi kepergian kakaknya tanpa pamit itu.
Bahkan para cantrik mencoba untuk menghibur Sukrasana dan segera melupakan peristiwa itu.
Namun, Sukrasana masih terdiam seribu bahasa.
Bahkan ketika diajak makan siang pun tidak satu pun hidangan disantap. Padahal Sukrasana dikenal sebagai anak resi yang nafsu makannya tinggi bahkan bisa menghabiskan puluhan hidangan dalam beberapa saat saja. Namun, kali ini beda lagi karena ada sesuatu yang hilang dari dirinya yaitu kasih sayang dari sosok seorang kakak.
Bahkan ketika diajak makan siang pun tidak satu pun hidangan disantap. Padahal Sukrasana dikenal sebagai anak resi yang nafsu makannya tinggi bahkan bisa menghabiskan puluhan hidangan dalam beberapa saat saja. Namun, kali ini beda lagi karena ada sesuatu yang hilang dari dirinya yaitu kasih sayang dari sosok seorang kakak.
Tidak lama, beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa negeri Mahespati baru saja mengangkat Patih baru. Berita itu tersiar lewat pembicaraan para cantrik yang baru saja pulang berdagang di kutaraja.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar