Senin, 31 Agustus 2020

Suara Kita : Sejarah Lagu Slow Rock Malaysia

Lagu-lagu Slow Rock berirama Melayu merupakan salah satu jenis musik yang pernah berjaya di Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam pada akhir era 80an hingga pertengahan 90an.
Kala itu penyanyi yang menjadi pionir jenis musik ini adalah Ella, popularitas jenis musik Slow Rock macam ini akhirnya merambah Indonesia pada tahun 1988.
 
Saat itu Industri musik indonesia sedang hancur akibat dilarangnya pemutaran lagu-lagu cengeng oleh Menteri Penerangan yang sedang menjabat waktu itu, Harmoko.
 
Kemunculan musik Slow Rock berirama Melayu di Indonesia bermula saat grup musik dari Malaysia yang bernama Search meluncurkan albumnya dengan judul "Fenomena" pada tahun 1988.
 
Kemunculan Search mengawali kejayaan musik Slow Rock di tanah air dengan lahirnya penyanyi-penyanyi berbakat yang dihasilkan oleh musisi kenamaan seperti Deddy Dores.
 
Penyanyi Slow Rock berirama Melayu yang cukup menyita perhatian waktu itu adalah Nike Ardilla, penyanyi yang usianya masih 12 tahun ini sukses menggemparkan dunia musik Indonesia dengan lagu andalannya yakni "Bintang Kehidupan".
 
Bersinarnya Nike Ardilla diikuti beberapa penyanyi sesudahnya seperti Poppy Mercury, Ani Carera, Inka Christie, Abiem Ngesti, Thomas Arya dan Yelse.
 
Sayangnya, popularitas jenis musik ini berakhir cepat setelah Nike Ardilla meninggal. Disusul Poppy Mercury dan Abiem Ngesti juga turut meninggal di tahun yang sama pada pertengahan 1995.
Kalau didengar secara seksama, musik Slow Rock irama Melayu ini merupakan modifikasi dari kerangka-kerangka lagu ciptaan grup musik Scorpions.
 
Bayangkan saja, betapa mudahnya musisi Malaysia dan Indonesia menerapkan strategi ini sehingga sukses tanpa batas.
Ditambah dukungan dari beberapa stasiun radio yang membiarkan musik Slow Rock berirama Melayu menjadi bahan kekaguman anak muda pada masanya.
 
Kini yang tersisa tinggalah Thomas Arya dan Yelse dari Sumatera Barat sebagai pelantun lagu-lagu Slow Rock Melayu Klasik.
Sekarang ini musik Slow Rock Melayu justru dimainkan dengan berbagai kolaborasi, paling sering dan kebanyakan orang mendengar bahwa musik Slow Rock Melayu sering menjadi lagu wajib bagi konser-konser umum.
 
Terutama bagi grup musik dangdut atau Orkes Melayu, maka tidak heran inilah kecocokan yang tepat bagi jenis musik ini dengan pengetahuan bangsa Indonesia.

Senin, 17 Agustus 2020

Suara Kita : Filosofi Orang Jawa

Foto : Totok Santoso Hadiningrat, Gubernur Jenderal Sunda Empire

SEMBILAN FILOSOFI JAWA YANG DIAJARKAN OLEH SUNAN KALIJAGA

1. URIP IKU URUP
"Hidup itu Nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik"

2. MEMAYU HAYUNING BAWANA
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak

3. SURO DIRO JOYO JAYADININGRAT, LEBUR DENING PANGASTUTI
"Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar"

4. NGLURUK TANPO BOLO, MENANG TANPO NGASORAKE, SEKTI TANPO AJI-AJI, SUGIH TANPO BONDHO
"Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan"

5. DATAN SERIK LAMUN KETAMAN, DATAN SUSAH LAMUN KALANGAN
"Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu"

6. OJO GUMUNAN, OJO GETUNAN, OJO KAGETAN, OJO ALEMAN
"Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja"

7. OJO KETUNGKUL MARANG KALUNGGUHAN, KADONYAN LAN KEMAREMAN
"Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi"

8. OJO KUMINTER MUNDAK KEBLINGER, OJO CIDRA MUNDAK CILAKA
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka

9. OJO ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNO
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Sumber : Dawuh Kanjeng Sunan Kalijaga/Raden Said
Diedit : Joko Lelur Kemul Sarung

Rabu, 05 Agustus 2020

Puisi : Mayat Hidup

Di mataku aku tidak sama denganmu
Di matamu kau tidak sama denganku
Berbeda kasta, berbeda nasab
Berbeda kelas, berbeda nasib

Hatimu mati karena duniawi
Hatiku menangis karena luka ini
Terhadap sesama kau semena-mena
Sungguh kau sudah jadi orang gila

Tiada bedanya engkau dengan mayat hidup
Punya otak tapi tidak berpikir
Tiada bedanya engkau dengan mayat hidup
Punya hati tapi tidak merasa

Mayat hidup mati ditengah kemewahan
Mayat hidup tidur ditengah kegemilangan
Bangkit dari kubur demi kekuasaan semata
Menggerogoti sel kehidupan untuk nafsu semata

Kembalilah kau ke alam barzah
Dari pada hidup seperti sampah
Jual harga diri demi cuan murah
Tulangmu membusuk seperti limbah

Minggu, 02 Agustus 2020

Kisah Arjuna Sasrabahu : Sumantri Mbangun Tapa (Episode 10)


Gambar : Sumantri Putra Suwandagni

Sepeninggal Resi Ramabargawa, beberapa saat kemudian Dewi Darini melahirkan seorang putra tampan bernama Sumantri atau disebut Bambang Sumantri. Kelahiran Sumantri tidak lepas dari campur tangan dewata, saat Sumantri dilahirkan' ternyata putra Suwandagni itu sudah membawa sebuah senjata pusaka dan dibekali kesaktian alami.

Senjata pusaka tersebut adalah gandewa emas yang beratnya melebih gandewa biasa, serta kesaktian yang langsung datang dari langit untuk melindungi Sumantri dari marabahaya. Ketika Sumantri hendak dipotong tali pusarnya, ternyata tidak ada satupun senjata yang bisa memotongnya. 

Teringatlah Sang Suwandagni akan pesan Bathara Narada, akhirnya diambillah senjata pusaka yang sempat tersimpan di lemari. Akhirnya senjata itu dipakai untuk memotong tali pusar Sumantri. Begitu talinya dipotong, keajaiban pun terjadi dimana wujud tali pusarnya berubah menjadi bayi berwujud denawa bajang. Keanehan pun terjadi lagi, Sumantri yang tadinya berujud bayi segera berubah menjadi pemuda tampan tanpa proses yang jelas. Sang Suwandagni terheran dengan apa yang terjadi pada kedua anaknya itu. 

Dewi Darini terkejut, mengapa semua ini bisa terjadi ?
Namun, ini sudah menjadi kodrat dewata atas peristiwa yang menimpa keluarganya.
Bayi denawa bajang yang tercipta dari tali pusar Sumantri lantas diberi nama Sukrasana. Meski wujud Sumantri dan Sukrasana berbeda, tetapi mereka berdua diperlakukan sama seperti halnya yang lain.

Bertahun-tahun lamanya kehidupan di Ardisekar begitu damai, Sumantri dan Sukrasana telah menjalani berbagai macam pendidikan bersama murid-murid yang lain.
Olah kanuragan dan ilmu keagamaan sudah dipelajari sampai tuntas tanpa adanya halangan.
Sumantri yang merupakan anak tertua mampu menguasai jurus-jurus dan hafal ilmu tata negara.
Sukrasana yang cuma berujud denawa bajang juga tidak kalah hebat, meski wujudnya buruk rupa tetapi Sukrasana dikenal mumpuni dalam urusan ilmu keagamaan dan tidak kalah sakti dengan kakaknya. 


Kesaktian yang dimiliki Sumantri terbilang diluar nalar bahkan hampir menyamai kesaktian dewa.
Buktinya Sumantri bisa berubah wujud menjadi Brahala Sewu dan mahir memanah tanpa melihat sasaran bahkan dengan mata tertutup. 


Sedangkan Sukrasana meski bertubuh kecil namun memiliki kekuatan yang luar biasa.
Sukrasana mampu membawa gunung dengan satu jari dan mampu menyerap kekuatan alam untuk dijadikan sebagai tameng pelindung. Sukrasana bahkan mampu memperbanyak diri menjadi ratusan bahkan ribuan wujud. Itulah kesaktian yang dimilikinya sehingga tidak dianggap remeh oleh orang lain.

Sukrasana juga gemar bertapa seperti Sumantri, bahkan Sukrasana tidak pernah makan dan minum tanpa henti sampai berhenti bertapa. Sukrasana bisa sekuat itu menjalani laku brata sebagai pertapa karena dianugerahi kemampuan yang diluar nalar. Meski dia berwujud denawa bajang yang katanya hina dan nista itu, tetapi dia tetaplah adik Sumantri sekaligus putra seorang pertapa. 


Untuk menyelesaikan masa pembelajaran, Sumantri dan Sukrasana harus menjalani semedi untuk mencapai kelulusan. Mereka berdua akhirnya mengindahkan dawuh ayah mereka untuk bersemedi. Mereka berdua bersemedi di tempat berbeda, Sumantri bersemedi di kaki gunung sedangkan Sukrasana bersemedi di tengah hutan.

Sumantri bersemedi selama 30 hari tanpa henti sambil menahan haus dan lapar. Disitu kekuatan Sumantri harus terkendali agar bisa menahan nafsu angkara dalam jiwa. Sumantri terhitung titisan Bathara Wisnu dari sisi jiwa kesatrianya, bahkan kemampuan memanahnya setara dengan Bathara Wisnu sendiri ketika belum menitis.

Sumantri membuat seisi dunia gempar dengan semedinya, tidak terkecuali para Dewa yang merasakan wibawa kuat putra Suwandageni itu. Akhirnya turunlah Bathara Narada ke kaki gunung membangunkan Sumantri dari semedi. Ketika terbangun, Sumantri mendapat kabar dari Bathara Narada bahwa di negeri Maespati ada raja titisan Bathara Wisnu selain dirinya.
Sumantri kaget bahwa ada titisan Bathara Wisnu yang lain, setelah mengetahui hal itu Sumantri ingin pergi ke Maespati untuk mencari raja titisan Bathara Wisnu yang tidak lain adalah belahan jiwa lain dari Sumantri. Kemudian, Bathara Narada kembali ke Kahyangan setelah menemui Sumantri di kaki gunung. 


Mendapat berita dari Bathara Narada membuat Sumantri ingin segera mencari keberadaan titisan Wisnu yang lain. Tapi, sebelum berangkat ke Maespati ia harus meminta izin dahulu kepada ayahnya agar memperoleh restu. Kemudian Sumantri menyelesaikan semedi dan dianggap tuntas menjalaninya. Sumantri kembali ke pertapaan sambil membawa senyuman yang pertanda bahwa semedinya telah diterima oleh dewa.

Sumantri mengabarkan bahwa dirinya menerima titah untuk mencari titisan Bathara Wisnu yang keberadaanya kini telah menjadi penguasa negeri Maespati. Suwandageni tahu, Sumantri memang bagian lain dari Wisnu karena sudah seharusnya titisan dewa berhak mencari titisan dewa yang lain meski dipisahkan oleh jarak dan waktu.

Sebetulnya Suwandageni tidak mengizinkan putranya pergi karena ini akan membuat Sukrasana kehilangan, mengingat adiknya itu masih belum selesai tapa bratanya. Namun, keinginan kuat Sumantri tidak bisa dikalahkan oleh kekhawatiran ayahnya yang kini semakin menua. Maka tidak ada kata lain, restu pun diberikan kepada Sumantri untuk keselamatannya selama menjadi ksatria di Maespati.

Kemudian Sumantri mengundurkan diri dari pertapaan dan berangkat sambil mengendarai seekor kuda. Suwandageni cuma bisa menatap dari jauh kepergian anaknya, semoga tidak ada yang menghalau langkahnya' itulah kata dalam nurani sang ayah. 


Sementara itu di tengah Hutan, Sukrasana masih menjalani semedi dengan penuh khidmat.
Tapi, siapa sangka dibalik semedinya yang tekun itu membuat perbawa besar bagi seluruh penghuni hutan. Hewan-hewan buas seperti Harimau, Babi Hutan, Ular Berbisa, Trenggiling, Burung Gagak, Banteng dan seluruhnya tidak ada yang berani mendekati Sukrasana. Walaupun Sukrasana adalah manusia kerdil yang bertaring, tetapi dia juga termasuk seorang brahmana muda yang sakti.

Sukrasana membawa perbawa yang mengguncang alam semesta karena semedinya itu. Tidak disangka, Bathara Narada mendatanginya dan membangunkannya dari semedi. Sukrasana dimintai keterangan oleh Bathara Narada mengenai apa maksud dibalik semedinya yang terkesan mengguncang itu.

Sukrasana mengakui dirinya ingin menjadi orang sakti yang berguna bagi seluruh masyarakat dan menentramkan umat manusia. Itulah yang diungkapkan Sukrasana ke hadapan Bathara Narada. Maka permintaan dikabulkan, Sukrasana dianugrahi kesaktian yang luar biasa dan pengetahuan setara dengan para brahmana. Kemudian Bathara Narada pamit dari hadapan Sukrasana kembali ke Kahyangan. 

Sepeninggal Bathara Narada, Sukrasana kembali pulang ke pertapaan. Namun, ia tidak mendapati Sumantri' lantas ia bertanya kemana kakaknya pergi ?
Suwandagni hanya bisa terdiam melihat raut wajah Sukrasana yang penuh rasa ingin tahu. Sejatinya sang resi ingin jujur kepada anak nomor duanya itu, tetapi berat untuk diucapkan.

Tanpa mengatakan sesuatu, Resi Suwandagni memandang tempat penyimpanan senjata. Lalu, Sukrasana melihat penyimpanan senjata itu ternyata tidak ada isinya lagi. Panah, Busur, Keris dan Pedang sudah tidak berada di dalam isinya. Pertanda Sumantri telah turun gunung untuk mencari pengakuan ke dunia luar.

Sukrasana hanya bisa tertunduk lesu melihat kehampaan di dalam pertapaan. Selama berhari-hari Sukrasana hanya bisa melamun meratapi kepergian kakaknya tanpa pamit itu.
Bahkan para cantrik mencoba untuk menghibur Sukrasana dan segera melupakan peristiwa itu.
Namun, Sukrasana masih terdiam seribu bahasa.

Bahkan ketika diajak makan siang pun tidak satu pun hidangan disantap. Padahal Sukrasana dikenal sebagai anak resi yang nafsu makannya tinggi bahkan bisa menghabiskan puluhan hidangan dalam beberapa saat saja. Namun, kali ini beda lagi karena ada sesuatu yang hilang dari dirinya yaitu kasih sayang dari sosok seorang kakak.

Tidak lama, beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa negeri Mahespati baru saja mengangkat Patih baru. Berita itu tersiar lewat pembicaraan para cantrik yang baru saja pulang berdagang di kutaraja.

Patih baru kerajaan Mahespati itu adalah Sumantri, putra Resi Suwandagni yang tempo hari diratapi kepergiannya oleh Sukrasana. Mendengar berita itu, Sukrasana tergugah niatnya untuk menemui kakak lelakinya yang kini sudah jadi orang nomor dua di Mahespati. Sukrasana memohon izin untuk menemui Sumantri sekaligus mengucapkan selamat atas keberhasilannya menjadi patih. 

(Bersambung)

Sabtu, 01 Agustus 2020

Suara Kita : Novel Bamukmin Kagumi Kartosuwiryo

Foto : Habib Novel Bamukmin

Kartosuwiryo menangis melihat Indonesia jadi negara sekuler kapitalis yang tidak menerapkan hukum syariah.
Sebagai pejuang syariah, kita tidak boleh kalah melawan anjing-anjing peking yang menggonggong di tengah malam.
 
Sudah saatnya kita bantai anjing-anjing peking itu tanpa sisa dan kita wujudkan pemerintahan bersyariah dengan semboyan "Satu Bangsa Satu Agama". 

Sudah sepantasnya kita mengenang perjuangan Kartosuwiryo dalam penegakkan syariah islamiyah yang sempat dihalang-halangi oleh kaum sekuler.
 
Negara Islam adalah cita-cita dan masa depan umat yang harus diwujudkan demi menyelamatkan bangsa dari kolonialisasi budaya.
Negara Islam itu mutlak berdiri di tengah-tengah garis khatulistiwa dan Negara Islam merupakan mercusuar dunia yang sebenarnya.
 
Bukan Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat atau Padepokan Dimas Kanjeng yang menjadi mercusuar dunia. Tapi, Negara Islam bentukan FPI, HTI dan PA 212 lah yang sejatinya dan begitu seharusnya disebut sebagai "The Real Islamic State".
 
Untuk mewujudkannya, kekuatan harus dibereskan sampai bersih dan juga menata iman yang lebih kuat supaya tidak tergoda untuk berkhianat. 

Dimata saya, Kartosuwiryo adalah pahlawan. Presiden Soekarno adalah kawan baik Kartosuwiryo dan katanya dulu Kartosuwiryo pernah menjadi Imam Sholat sedangkan Soekarno sebagai makmumnya.
 
Kartosuwiryo sudah dianggap kakak karena dari segi keilmuan, Kartosuwiryo lebih tinggi diantara murid-murid HOS Cokroaminoto.
 
HOS Cokroaminoto memiliki banyak murid tapi hanya ada satu yang dianggap paling hebat ilmu agamanya, sudah jelas dialah Kartosuwiryo.
 
Ditambah dulu Kartosuwiryo pernah ikut menyerang markas tentara jepang dan merampas bedil-bedilnya lalu dibagikan kepada para pejuang. 

Tidak ada orang sehebat Kartosuwiryo, seorang pemimpin yang ahli ibadah dan penegak syariah islamiyah. Tapi, harus mati ditembak oleh ABRI akibat mendirikan negara diatas negara.
 
Tapi, semua itu harus kita lupakan karena cita-cita Kartosuwiryo harus diwujudkan. Paling tidak dalam waktu dekat PA 212 akan melakoni banyak tantangan guna memperkuat kesolidan anggota untuk menyambung tali silaturahmi antar umat Islam.
 
Mungkin sudah waktunya kita angkat senjata melawan sekulerisme dan mewujudkan cita-cita Kartosuwiryo yang belum tercapai, yakni mendirikan Negara Islam versi FPI, PA 212 dan HTI.
 
Walau cuma 7 juta orang yang mendukung rencana ini, tapi itu tidak apa-apa lantaran kita masih disayangi oleh Mbak Tutut dari Keluarga Cendana dan Keluarga Bakrie yang berdiri dibelakang kita.
 
Cendana dan Bakrie adalah kekuatan besar dibalik kecilnya umat PA 212.  Meski kecil nyali kami tidak kalah dengan mayoritas yang mendukung pemerintahan. Secara tegas kamilah oposisi, bukan PKS atau PAN !
 
PKS cuma memikirkan nasib kadernya yang doyan kawin dan PAN cuma memikirkan nasib bagaimana bisa menyingkirkan pengaruh Amin Rais dari partainya.
 
Semua pasti ada waktu dan jawabannya...
Tidak perlu ragu dengan kami karena semua pasti terwujud. 

SUMBER : Akun Facebook "Novel Chaidir Hasan"