Kamis, 22 Desember 2016

Cerita Wayang : Kresna Duta (PART 01)

Suatu hari di negeri Wirata, para Pandawa Lima sedang duduk dihadapan Prabu Matswapati.
Mereka baru saja berhasil menyelamatkan negeri Wirata dari pemberontakan yang dilakukan Kencakarupa dan Rupakenca. Dalam suasana itu para Pandawa Lima berniat ingin menagih janji Prabu Duryudana yang dahulu menghukum mereka seusai kalah main judi 13 tahun silam.

Werkudara sudah lama menantikan saat-saat yang menentukan nasib para Pandawa Lima yang sudah lama hidup di hutan dan setahun menyamar sebagai kaum sudra. Ia berniat menuntut balas atas perlakuan tidak senonoh Dursasana terhadap Drupadi, kakak iparnya.

Terbayang kejadian memalukan yang menimpa Drupadi saat hendak ditelanjangi Dursasana di tempat perjudian, Raut wajah sang Werkudara memerah dan sedikit-sedikit melotot kedua bola matanya.
Dalam hatinya, Werkudara bersumpah akan menyiksa Dursasana sampai tidak berdaya dan meminum darahnya.

Ketika sedang berkumpul bersama Prabu Matswapati, mereka membicarakan rencana untuk menagih janji kepada Prabu Duryudana agar negeri Amarta dan wilayah-wilayah otonomnya di kembalikan setelah Pandawa Lima menjalani masa hukuman.

Prabu Matswapati menyetujui rencana itu, tetapi Prabu Matswapati belum tahu siapa yang akan menjadi utusan perdamaian guna melunakkan hati Prabu Duryudana yang keras kepala itu.
Sayang, Pandawa Lima belum bisa meminta pertolongan untuk mencari sukarelawan yang mampu menjadi utusan perdamaian.

Mula-mula para Pandawa Lima mengutus Dewi Kunti Talibrata sebagai utusan, namun gagal karena perkara semacam itu tidak berhak diserahkan kepada orang tua. Kemudian giliran Prabu Drupada yang menjadi utusan, Prabu Drupada merupakan mertua Prabu Puntadewa.

Dengan segala nasehat dan petuah, Prabu Drupada mencoba membujuk Prabu Duryudana agar negeri Amarta dikembalikan kepada Pandawa Lima, namun malah tindakan Prabu Duryudana membuat rencana ini gagal juga.

Berawal ketika Prabu Drupada datang ke Hastina bersama putranya yang bernama Thrustajumena dan Patih Drestaketu, setelah Prabu Drupada masuk ke dalam istana untuk melakukan proses perundingan damai' Thrustajumena dan Patih Drestaketu diusir oleh Aswatama dan Burisrawa yang sejak awal sudah berniat melakukan hal itu.

Hingga pada akhirnya, Kereta Kuda beserta kuda penariknya dihancurkan dan dibunuh' Patih Drestaketu tidak mampu mencegah hal ini karena saat itu ia sibuk meladeni Aswatama dan Burisrawa yang menantangnya berkelahi.

Setelah Prabu Drupada keluar dari istana dalam keadaan kesal bercampur marah, ia kaget melihat kereta kuda tunggangannya hancur lebur. Kuda penarik keretanya dibunuh dan bangkainya dibiarkan terlantar.

Raja negeri Pancala itu marah melihat kejadian yang terjadi pada dirinya, lantas Prabu Drupada pulang ke Wirata menemui Pandawa Lima dan mengabarkan bahwa misinya gagal untuk melunakkan hati Prabu Duryudana. Para Pandawa Lima makin tertunduk lesu mendengar berita ini, dan upaya terakhir selanjutnya adalah mencari utusan perdamaian baru agar semoga rencana semacam ini bisa terlaksana.

Maka diutuslah Gatotkaca membawa surat berisi ajakan kepada Prabu Kresna agar mau menjadi utusan perdamaian untuk meminta hak atas negeri Amarta yang direbut oleh Prabu Duryudana.
Sesampainya disana, Gatotkaca memberikan surat ajakan itu kepada Prabu Kresna' dan akhirnya Prabu Kresna menyanggupi permintaan para Pandawa Lima.

Prabu Kresna bergegas menuju Wirata untuk menemui para Pandawa untuk mencari informasi sekaligus merancang rencana cadangan jika cara semacam ini gagal dilakukan.


Sesampainya di negeri Wirata, Prabu Kresna segera menemui Prabu Puntadewa dan saudara-saudaranya yang kebetulan sedang berdiskusi bersama Prabu Matswapati. Prabu Kresna menanyakan sesuatu hal mengenai nasib Pandawa Lima selama bersembunyi di Wirata.

Prabu Matswapati menjawab bahwa keadaannya baik-baik saja, bahkan kehadiran mereka berlima membuat negeri Wirata selamat dari pemberontakan dan penyerangan. Setelah mendengar hal itu, Prabu Kresna mulai tahu bahwa ia pernah merasakan aura keberadaan Pandawa Lima di negeri Wirata.

Menurut Prabu Matswapati, keberadaan para Pandawa Lima yang menyamar menjadi kaum sudra kerap menimbulkan masalah yang sepele. Misalnya, Prabu Puntadewa menyamar sebagai mantri pasar bernama Dwijakangka. Ketika menjadi mantri pasar, harga-harga sembako di Wirata cenderung naik hingga diatas harga yang direkomendasikan. Prabu Puntadewa pernah dimarahi karena dianggap tidak becus mengatur harga-harga di pasar. Namun, sebulan kemudian justru harga sembako yang dijual di pasar-pasar yang terdapat di ibukota Wirata malah jadi murah dan mudah dijangkau pembeli.

Begitupun ketika Werkudara menyamar sebagai anak angkat Ki Jagal Walakas, sang Arya Panenggak menyamar sebagai pemuda yang bekerja sebagai tukang potong hewan bernama Jagal Abilawa.
Selama menjadi tukang potong hewan kerjanya cuma tidur, kalau ada hewan yang hendak di potong atau di jagal' Werkudara tidak pernah menggunakan pisau atau golok.

Tetapi, menggunakan Kuku Pancanaka yang merupakan identitas ksatria keturunan inkarnasi dewa angin Bhatara Bayu. Sehingga dalam waktu beberapa menit saja, hewan-hewan yang siap dipotong sudah tersaji dalam bentuk daging segar siap jual.

Ki Jagal Walakas mendapat untung besar akibat dari apa yang dilakukan Werkudara saat menyamar sebagai tukang jagal hewan. Bahkan dalam waktu 2 minggu stok daging di Wirata melampaui kuota dan kuota yang terlampau jauh itu malah di ekspor ke negeri-negeri tetangga.

Lalu, lain halnya dengan Arjuna yang menyamar sebagai guru seni' Arjuna merubah penampilannya menjadi banci kaleng dengan sebutan Wrahatnala. Profesi Arjuna dalam menjadi banci adalah mengajari orang-orang di Wirata dalam berkesenian. Bahkan akibat ulah Arjuna itu, jumlah seniman-seniman terkenal di Wirata bahkan menjadi populer berkat ajaran yang dilakukan olehnya.

Terakhir, tinggal sepasang anak kembar yang bernama Nakula dan Sadewa' Nakula menyamar sebagai petani desa dan Sadewa menyamar sebagai penggembala ternak. Nakula mengubah namanya menjadi Darmagranti dan Sadewa mengubah namanya menjadi Tripala.

Kinerja Nakula selama menjadi petani desa membuat hasil panen di pedesaan makin berlimpah dan cukup untuk keperluan sehari-hari bahkan kejeliannya dalam merawat tanaman benar-benar mengubah kesejahteraan yang tadinya standar menjadi hebat.

Sadewa tak ketinggalan dengan ide-ide cemerlangnya selama menyamar menjadi penggembala ternak, hewan-hewan ternak yang dikembangkan oleh Sadewa mampu beranak cepat hingga ratusan ekor. Terutama kuda, kalau mengasuh hewan bertenaga luar biasa ini Sadewa hanya butuh resep berupa rumput pilihan yang sudah diolah serta obat-obatan yang mengandung unsur herbal.

Hasilnya, kuda-kuda bahkan hewan-hewan ternak lainnya kebugarannya meningkat sehingga banyak negara-negara lain yang memesan kuda yang diternakan oleh Sadewa untuk keperluan militer.
Mendengar ungkapan Prabu Matswapati yang sangat blak-blakan tetapi tidak mengandung unsur kebohongan , Prabu Kresna mengatakan bahwa kehadiran para Pandawa Lima di negeri Wirata membuat negeri itu kembali menemukan kejayaannya yang dahulu hilang.

Tiba-tiba pembicaraan dihentikan oleh Werkudara, lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu berkata bahwa ini bukan waktunya untuk membicarakan keberhasilan para Pandawa Lima dalam memajukan negara, melainkan bagaimana caranya agar negeri Amarta yang direbut lewat meja judi oleh para Kurawa bisa dikembalikan.

Akhirnya Prabu Kresna pun menjawab bahwa ia pasti akan melakukan bujuk rayu yang lembut agar Prabu Duryudana bisa mengembalikan negeri Amarta kepada para Pandawa Lima. Lantas, Prabu Kresna segera berangkat menuju Hastina guna menemui Prabu Duryudana dengan menaiki kereta kuda yang dikusiri oleh Setyaki.

Di tengah jalan, Prabu Kresna dan Setyaki dihampiri oleh 4 orang dewa tertinggi' mereka adalah Bathara Narada, Bhatara Ramabargawa, Bathara Kanwa dan Bhatara Janaka. Mereka berempat ingin turut menuju negeri Hastina untuk menyaksikan jalannya proses perundingan damai agar para Pandawa Lima bisa mendapatkan kembali hak nya.

Cerita berganti di negeri Hastina, di pasewakan agung terdapat sosok raja berambut panjang bergelombang dengan bulu dada yang lebat. Kumis lebat hingga melingkari setengah wajah bagian bawahnya. Ia adalah Prabu Duryudana, putra Prabu Dhestarastra dengan Dewi Gandari' raja yang satu ini terkenal emosional dan pelit.

Dihadapan para tamu di pasewakan seperti Resi Bhisma, Resi Durna, Patih Sengkuni, Adipati Karna beserta para menteri-menteri, Prabu Duryudana menegaskan bahwa para Kurawa harus tetap mempertahankan negeri Amarta yang sudah menjadi jajahan negeri Hastina selama 13 tahun.

Bahkan, negeri Hastina berniat ingin mengeksplorasi alam negeri Amarta yang terkenal kaya mineral dan sumber pangan yang banyak. Prabu Duryudana berkata bahwa Hastina tetap akan bersikukuh menjadikan Pandawa Lima sebagai sekelompok orang yang membahayakan.

Resi Bhisma menasehati bahwa selayaknya para Pandawa Lima harus diberi hak sebagai pewaris tahta karena Pandawa Lima adalah keturunan penguasa terdahulu. Namun, Prabu Duryudana tidak peduli akan semua itu, ia tetap menginginkan Pandawa Lima tidak dapat berkuasa atau mendapatkan harta benda.

Adipati Karna yang duduk didekat Resi Bhisma mengatakan bahwa ia tidak setuju bila para Pandawa Lima tidak diberi kekuasaan. Mengingat para Pandawa Lima masih saudara Prabu Duryudana sendiri, seharusnya dikembalikan saja negeri Amarta ke tangan Pandawa Lima agar tidak menimbulkan ketidakpuasan rakyat yang menilai rajanya terlalu gila harta.

Ucapan Adipati Karna yang terlalu kritis dan tidak melihat situasi maupun kondisi membuat telinga Prabu Duryudana merasa kemasukan lebah. Dengan nada teriakan yang tinggi, Prabu Duryudana mengusir Adipati Karna yang sudah tidak pro terhadap Prabu Duryudana. Resi Bhisma juga ikut keluar dari pasewakan karena sang resi tahu bahwa apa yang dikatakan Adipati Karna ada benarnya.

Setelah Resi Bhisma dan Adipati Karna meninggalkan pasewakan, tiba-tiba datang prajurit penjaga melapor' dalam laporannya prajurit itu memberitahukan kedatangan Prabu Kresna beserta rombongan. Dalam waktu sebentar saja setelah prajurit itu masuk menemui Prabu Duryudana, Prabu Kresna sudah berada di pintu masuk pasewakan bersama keempat dewa yang tadi menumpangi kereta kudanya. Kedatangan Prabu Kresna membuat seisi pasewakan geger, mereka semua lantas melakukan sembah. Memang, yang datang adalah dewa-dewa' kalau dilihat pasti ada keperluan penting yang tidak main-main.


Kedatangan Prabu Kresna beserta keempat dewa di Hastina membuat seluruh isi pasewakan geger, mereka baru pertamakali melihat dewa-dewa datang ke negeri Hastina. Prabu Duryudana memang sudah menduga bahwa setelah Dewi Kunti dan Prabu Drupada yang menjadi utusan, kini tinggal Prabu Kresna yang belum melakukannya. Dalam hatinya ia sudah menegaskan tidak akan menyerahkan negeri Amarta beserta seisi wilayah otonomnya kepada para Pandawa Lima dengan cara apapun termasuk berperang.

Lalu, Prabu Kresna berjalan menuju singgasana dimana putra Prabu Dhestarastra duduk dihadapan semua pejabat kerajaan. Dengan kata-kata halus nan lembut, Prabu Kresna membujuk saudara sulung para Kurawa itu mau berdamai dengan Pandawa Lima. Prabu Kresna menjamin adanya perdamaian dan ramalan mengenai perang besar antar keluarga yang sudah diperkirakan itu akan hancur, bila Prabu Duryudana mau menuruti nasehat Prabu Kresna.

Sayang disayang, Prabu Duryudana lagi-lagi tetap membantah bahwa ia akan menyerah pada ucapan manis. Prabu Duryudana rupanya malah ingin sekali melihat darah mengalir di negerinya' setelah melihat tindakan raja Hastina tersebut maka Bhatara Narada yang menyaksikannya turut bersumpah bahwa perang yang diramalkan akan segera terjadi.

Bharatayudha, itulah perang besar yang telah lama diramalkan sejak dahulu kala.
Prabu Duryudana rupanya ingin menggali liang lahatnya sendiri dengan menjadi korban senjata-senjata para Pandawa Lima.

Dengan nada kasar Prabu Duryudana mengusir Prabu Kresna beserta para Dewa yang tadi menyaksikan jalannya pembicaraan. Maka pada saat itu, Prabu Kresna segera meninggalkan pasewakan untuk menyampaikan hal ini. Dalam hatinya Prabu Kresna berkata bahwa sudah waktunya angkara murka dibinasakan.

Setelah keluar dari istana, Bhatara Narada beserta para dewa yang lain pergi meninggalkan Prabu Kresna untuk menyampaikan berita besar ini. Ketika hendak menuju kereta kuda yang sedang di jaga oleh Setyaki, para Kurawa sudah berkumpul sambil membawa senjata lengkap.

Mereka berniat membunuh Prabu Kresna dengan cara mengeroyoknya, namun Setyaki yang melihat semua anggota Kurawa mengepung junjungannya segera menerjang barisan. Hasilnya Setyaki bertarung sendirian guna melindungi Prabu Kresna.

Tak sampai disitu, usaha Setyaki menemui ganjalan berupa hadangan Burisrawa yang sudah sejak tadi menanti keributan. Burisrawa yang sudah dipengaruhi minum-minuman keras' tanpa alasan yang jelas melempar tombak ke arag Setyaki. Dan ternyata saat melihat kejadian mengerikan ini, Prabu Kresna mulai kehilangan kesabaran.

Sehingga dengan kekuatan yang besar, Prabu Kresna berubah menjadi Brahala Sewu yang tingginya 3 kali lipat gunung. Prabu Kresna mengamuk dengan kekuatannya yang sudah tak terkendali' para Kurawa mengerumuni kaki bahkan ada yang memanjat tubuh Prabu Kresna.

Tapi, setelah mengeluarkan ilmu dari tubuhnya' semua anggota Kurawa yang mengeroyok Prabu Kresna berjatuhan bagai semut yang disemproti obat serangga. Prabu Kresna kian liar dan kekuatannya hampir membuat para Kurawa kewalahan, Resi Bhisma yang melihat dari kejauhan hanya bisa menangis sambil berkata dalam hati bahwa kehancuran para Kurawa dan negeri Hastinapura tinggal menghitung hari.

Kemarahan Prabu Kresna menjadi pertanda buruk bahwa negeri Hastinapura akan menerima hukuman berupa perang yang berlangsung selama 18 hari di sebuah gurun gersang bernama Kurusetra. Sudah dipastikan, Pandawa Lima dan Kurawa akan saling membunuh untuk memperoleh negeri warisan mendiang Prabu Pandu Dewanata.

Tak lama datanglah Bhatara Guru menghentikan kejadian itu, dalam nasehatnya raja para dewa itu berkata bahwa Prabu Kresna tidak berhak membinasakan Kurawa' karena nasib para Kurawa hanya ada di tangan para Pandawa Lima.

Mendengar hal itu, Prabu Kresna kembali ke wujud manusia dan segera pergi meninggalkan negeri Hastinapura untuk mengatakan hal penting kepada para Pandawa bahwa perang besar Bharatayudha akan segera dimulai. Hari mulai senja, Prabu Kresna ingin kembali ke negeri Wirata untuk menyuruh para Pandawa Lima bersiap-siap menghadapi para Kurawa di medan perang. Dan ketika sudah malam, Prabu Kresna melakukan pertemuan secara diam-diam dengan Adipati Karna di negeri Awangga.

Dalam pertemuan itu Adipati Karna diminta untuk membantu para Pandawa Lima, tetapi sayangnya raja yang masih saudara seibu dengan para Pandawa Lima tidak mau mengkhianati janji setianya dengan negeri Hastinapura. Menurut Adipati Karna, negeri Hastinapura sudah lama ia tinggali sejak masih kecil. Demi negara, Adipati Karna rela mengangkat senjata agar negara yang dibelanya sejak lama tak jatuh ketangan musuh, meskipun musuhnya merupakan saudara seibu.

Dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan rasa cintanya terhadap para Pandawa Lima, Adipati Karna meminta Prabu Kresna agar ia nanti bisa dipertemukan dengan Arjuna bila jatah perang tandingnya ada. Maka dari itu Prabu Kresna menyetujui permintaan Adipati Karna' namun Prabu Kresna kembali mengingatkan bahwa barang siapa yang membela kejahatan maka ia akan hancur bersama raganya dalam kehinaan.

Sumpah setia pun diucapkan oleh Adipati Karna, dalam sumpahnya ia berkata bahwa ia akan gugur di medan laga bila senjata andalannya telah kembali ke kahyangan' senjata yang dimaksu itu adalah senjata Kyai Kunta Wijayadanu.

Setelah itu, Prabu Kresna kembali melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Wirata agar secepatnya para Pandawa Lima mengadakan upacara sebelum perang. Tujuannya agar segala doa yang diucapkan dalam ritual tersebut bisa menjawab keinginan para Pandawa Lima.


Peristiwa pengeroyokan yang dilakukan oleh para Kurawa menandakan bahwa inilah saatnya Prabu Kresna menjadi mentor sejati para Pandawa Lima dalam menjalani peperangan. Setelah ia bersama Setyaki datang ke Awangga’ Prabu Kresna pun kembali ke Wirata. 
Dengan rasa menyesal, Prabu Kresna meminta maaf kepada Dewi Kunti bahwa ia gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai utusan perdamaian.
Mendengar kegagalan itu, Werkudara makin yakin bahwa kesempatan emasnya menghabisi para Kurawa makin terbuka. Karena dulu ia pernah bersumpah akan menghukum para Kurawa yang telah licik merebut negeri Amarta beserta negeri-negeri jajahannya.
Guna mengawali perang Bharatayudha, Prabu Kresna segera mengusulkan untuk mengadakan upacara suci untuk mendapatkan izin dari Yang Maha Kuasa agar jalannya peperangan bisa menguntungkan para Pandawa.
Upacara itu berupa upacara suci yang mengorbankan seekor kuda atau hewan ternak, segera para Pandawa menyalakan api pancaka untuk melakukan serangkaian syarat-syarat dalam berperang.
Perang yang akan dihadapi para Pandawa bukanlah perang biasa, melainkan perang suci yang akan menelan banyak korban dan darahnya siap membanjiri dunia. Arjuna dan Werkudara segera mencari hewan-hewan atau ternak yang akan dijadikan sesaji.
Cerita berganti di sebuah negeri yang sedang mengalami paceklik, negeri itu bernama Ekacakra yang dahulunya dikuasai Prabu Bakasura. Konon, dahulu Prabu Bakasura adalah seorang raja yang gemar memakan daging manusia karena dirinya adalah raksasa.
Namun, Prabu Bakasura berhasil dikalahkan oleh Werkudara yang saat itu disuruh oleh seorang kakek-kakek  tua bernama Ki Demang Ijrapa. Kali ini berdasarkan cerita asli, Ki Demang Ijrapa bersama  putra semata wayangnya yaitu Bambang Rawan berniat mencari orang yang dahulu pernah menyelamatkan desanya dari teror Prabu Bakasura.
Sambil meninggalkan desa, Ki Demang Ijrapa dan Bambang Rawan berkelana mencari orang yang dimaksud. Rupanya dalam perjalanan mereka berdua bertemu dengan Arjuna dan Werkudara’ pertemuan antara mereka terjadi ditengah jalan.
Akhirnya mereka pun saling bertanya mengenai kabar pribadi, Werkudara yang sudah belasan tahun tak bertemu Ki Demang Ijrapa merasa bahagia bahwa sudah saatnya Ki Demang Ijrapa diboyong ke Wirata untuk diberi kedudukan.
Namun, Ki Demang Ijrapa menolak hal itu’ ia justru hanya ingin mengabdi kepada para Pandawa Lima yang dahulu pernah menyelamatkan nyawa mereka saat di teror raja raksasa itu.
Dan apa yang sedang dipikirkan oleh Ki Demang Ijrapa setelah bertemu dengan Arjuna dan Werkudara ?

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar