Prabu Dewasrani tewas terkena semburan api yang keluar dari mulut
Wisanggeni, otomatis semua prajurit yang kewalahan menghadapi Wisanggeni
segera"Tinggal Gelanggang Colong Playu". Mereka lari terbirit-birit
melihat kedigdayaan Wisanggeni di medan laga.
Berita kematian Prabu Dewasrani membuat Batari Durga murka, ia merasa bahwa hal ini harus diselesaikannya sendiri. Mengingat ia harus menghentikan Bharatayudha agar para Kurawa dapat menang tanpa berperang. Lalu, ia sendiri pergi membawa pasukan denawa dalam jumlah yang sangat besar' beberapa diantaranya mereka adalah denawa-denawa bertubuh bajang atau kerdil.
Sisanya denawa-denawa bertubuh gendut, besar, gimbal rambutnya dan bertaring tajam mengandung racun mematikan. Wisanggeni mewaspadai terjadinya serangan balik yang akan dilakukan para denawa dari Kahyangan Setragandamayit. Antasena pun mulai merasakan aura negatif yang kental, ini menandakan bahwa Batari Durga berserta wadyabala denawanya akan membalas kekalahan mereka.
Dugaan Wisanggeni tepat, rupanya seluruh denawa di muka bumi sudah murka dengan kekalahan yang dialami Prabu Dewasrani. Segera para denawa menyerang secara membabi buta tanpa ampun, mereka mengeroyok Wisanggeni dan Antasena. Walaupun dikeroyok sedemikian banyaknya denawa-denawa itu, mereka berdua tetaplah yang paling tangguh.
Setelah denawa-denawa yang tadi sudah disingkirkan, kini giliran barisan denawa-denawa bajang mulai menyerang seperti lebah yang baru saja dirusak sarangnya. Mereka mengamuk dan taringnya tajam-tajam sekali, tajamnya taring mereka bagaikan ikan piranha.
Mereka mulai menggigit Wisanggeni dan Antasena secara bersama-sama, ada yang menggigit kepala' ada yang menggigit tangan dan ada pula yang menggigit kaki. Namun, lagi-lagi Wisanggeni dan Antasena kembali memenangkan pertarungan setelah mereka mengeluarkan jurus masing-masing.
Tidak sedikit denawa-denawa dari Kahyangan Setragandamayit terbunuh dalam serangan itu, salah satu denawa yang selamat datang menemui Batari Durga. Denawa yang selamat itu mengabarkan bahwa semua pasukan denawa dari seluruh yang ada telah tumpas. Batari Durga marah besar mendengar berita itu, ia segera memerintahkan dua pengawal pribadinya' yakni Pandumeya dan Jarameya untuk mengundang Batara Kala untuk menjadi senapati dalam usaha menumpas para Pandawa yang hendak melangsungkan Bharatayudha.
Segera Pandumeya dan Jarameya pergi menuju ke Kahyangan Selamangumpeng untuk memberitahu keadaan di medan perang kepada Batara Kala. Sesampainya disana mereka berdua menemui dewa yang gemar makan daging manusia itu, Pandumeya mengatakan bahwa malam ini Batari Durga memerintahkan dewa raksasa tersebut menjadi senopati.
Mendengar laporang itu, Batara Kala sangat antusias karena sudah lama ia tidak berperang karena terlalu sering banyak makan dan tidur. Lalu Pandumeya memberitahukan kabar duka, kabar duka itu adalah kematian Prabu Dewasrani yang sudah dilenyapkan oleh Wisanggeni dan Antasena.
Batara Kala pun tergugah amarahnya setelah mendengar berita kematian Prabu Dewasrani, langsung sang dewa bertubuh besar dan menakutkan itu pergi meninggalkan Kahyangan Selamangunpeng untuk terjun di medan tempur menghadapi Wisanggeni dan Antasena.
Batara Kala mengamuk di medan tempur, seluruh kesaktian yang ia miliki dikeluarkan semua demi mengalahkan Wisanggeni dan Antasena. Wisanggeni mewaspadai kekuatan terbesar Batara Kala, yakni sebuah jurus bernama Aji Petak Bumi yang mampu menggoncangkan bumi walaupun hanya satu kali hentakan.
Wisanggeni dengan cepat mengantisipasi serangan dahsyat itu dengan semburan api dan serangan dari bawah tanah yang dilakukan Antasena. Batara Kala tidak bodoh, ia segera membalas dengan jurus-jurus mengerikan sehingga seluruh hutan dan pegunungan terbakar.
Seluruh hutan terbakar oleh semburan api yang meleset dari mulut Wisanggeni, Batara Kala terlalu lihai menghadapi lawannya. Antasena datang membantu dengan serangan dari udara, dari udara Antasena menghajar wajah Batara Kala dengan pukulan bertubi-tubi.
Namun, Batara Kala tidak merasa sakit sama sekali karena kulitnya kebal terhadap pukulan.
Antasena kewalahan menghadapinya, lalu Batara Kala mencengkeram kaki kiri Antasena dan memutar-mutar tubuhnya lalu dibanting ke tanah. Antasena terjatuh, Wisanggeni berganti menyerang Batara Kala dengan serangan-serangan yang muncul dari telapak tangannya.
Alangkah menyeramkan sekali pertempuran waktu itu, Batara Kala benar-benar sulit dikalahkan mengingat ia adalah seorang dewa. Namun, Antasena dan Wisanggeni harus mengakhiri pertempuran ini sebelum matahari terbit. Lalu, mereka berdua teringat dengan pesan Sang Hyang Wenang' dalam ingatan mereka, Sang Hyang Wenang memberi mereka sebuah senjata bernama Gada Emas.
Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang adalah senjata untuk mengakhiri hidup Batara Kala beserta para denawa dari Kahyangan Setra Ganda Mayit. Lalu, Wisanggeni meminta Antasena untuk menyerang Batara Kala lagi. Tapi, Antasena menolak karena semua kemampuan terbaiknya tak mampu membenamkan perlawanan Batara Kala.
Wisanggeni akhirnya maju sendiri menghadapi Batara Kala, maka diam-diam Wisanggeni mengambil Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang. Dengan serangan tanpa diduga-duga, Gada Emas yang dipegang Wisanggeni mengenai kepala Batara Kala. Setelah terkena pukulan dari Gada Emas itu, Batara Kala tersungkur tak berdaya. Kepalanya mengeluarkan darah dan sebentar-sebentar tempurungnya mulai retak, dan akhirnya Batara Kala tewas seketika.
Wisanggeni berhasil mengalahkan Batara Kala dengan menggunakan senjata Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang. Dari kejauhan Pandumeya dan Jarameya terkejut melihat Batara Kala tewas terkena hantaman senjata pusaka. Mereka lari dan lantas melapor kepada Batari Durga yang saat itu sedang menunggu kepulangan beberapa wadyabala denawa.
Dengan lari yang cepat, Pandumeya dan Jarameya datang ke hadapan Batari Durga dan melaporkan kejadian yang menimpa Batara Kala, Mereka bilang Batara Kala tewas terkena senjata pusaka, seketika Batari Durga marah dan beranjak dari tempat duduknya untuk menyerang Wisanggeni dan Antasena.
Sesampainya di medan laga, Batari Durga menantang Wisanggeni dan Antasena bertempur.
Maka pertempuran akbar pun terjadi antara mereka bertiga, semakin lama semakin brutal dan semakin tidak bisa diprediksi siapa yang akan menang.
Rupanya Batari Durga terbawa emosi atas kematian yang dialami Prabu Dewasrani dan Batara Kala, mantan istri Batara Guru tersebut menyerang secara tidak kenal ampun. Segala macam benda disekitarnya dipakai sebagai senjata untuk menyerang Wisanggeni dan Antasena.
Lama kelamaan pertarungan mulai terlihat semakin tidak terkendali, Lalu Wisanggeni segera menangkap Batari Durga dan Antasena diminta untuk memukul kepalanya dengan Gada Emas. Maka dalam waktu cepat mendaratlah Gada Emas diatas kepala Batari Durga. Batari Durga tewas terkena hantaman senjata pusaka itu. Maka pemenang dalam pertempuran kali ini adalah Wisanggeni dan Antasena.
Setelah berhasil mengalahkan Batari Durga, Batara Kala dan Prabu Dewasrani’ Antasena dan Wisanggeni berniat membinasakan Pandumeya dan Jarameya yang merupakan mata-mata dari Kahyangan Setra Ganda Mayit.
Berita kematian Prabu Dewasrani membuat Batari Durga murka, ia merasa bahwa hal ini harus diselesaikannya sendiri. Mengingat ia harus menghentikan Bharatayudha agar para Kurawa dapat menang tanpa berperang. Lalu, ia sendiri pergi membawa pasukan denawa dalam jumlah yang sangat besar' beberapa diantaranya mereka adalah denawa-denawa bertubuh bajang atau kerdil.
Sisanya denawa-denawa bertubuh gendut, besar, gimbal rambutnya dan bertaring tajam mengandung racun mematikan. Wisanggeni mewaspadai terjadinya serangan balik yang akan dilakukan para denawa dari Kahyangan Setragandamayit. Antasena pun mulai merasakan aura negatif yang kental, ini menandakan bahwa Batari Durga berserta wadyabala denawanya akan membalas kekalahan mereka.
Dugaan Wisanggeni tepat, rupanya seluruh denawa di muka bumi sudah murka dengan kekalahan yang dialami Prabu Dewasrani. Segera para denawa menyerang secara membabi buta tanpa ampun, mereka mengeroyok Wisanggeni dan Antasena. Walaupun dikeroyok sedemikian banyaknya denawa-denawa itu, mereka berdua tetaplah yang paling tangguh.
Setelah denawa-denawa yang tadi sudah disingkirkan, kini giliran barisan denawa-denawa bajang mulai menyerang seperti lebah yang baru saja dirusak sarangnya. Mereka mengamuk dan taringnya tajam-tajam sekali, tajamnya taring mereka bagaikan ikan piranha.
Mereka mulai menggigit Wisanggeni dan Antasena secara bersama-sama, ada yang menggigit kepala' ada yang menggigit tangan dan ada pula yang menggigit kaki. Namun, lagi-lagi Wisanggeni dan Antasena kembali memenangkan pertarungan setelah mereka mengeluarkan jurus masing-masing.
Tidak sedikit denawa-denawa dari Kahyangan Setragandamayit terbunuh dalam serangan itu, salah satu denawa yang selamat datang menemui Batari Durga. Denawa yang selamat itu mengabarkan bahwa semua pasukan denawa dari seluruh yang ada telah tumpas. Batari Durga marah besar mendengar berita itu, ia segera memerintahkan dua pengawal pribadinya' yakni Pandumeya dan Jarameya untuk mengundang Batara Kala untuk menjadi senapati dalam usaha menumpas para Pandawa yang hendak melangsungkan Bharatayudha.
Segera Pandumeya dan Jarameya pergi menuju ke Kahyangan Selamangumpeng untuk memberitahu keadaan di medan perang kepada Batara Kala. Sesampainya disana mereka berdua menemui dewa yang gemar makan daging manusia itu, Pandumeya mengatakan bahwa malam ini Batari Durga memerintahkan dewa raksasa tersebut menjadi senopati.
Mendengar laporang itu, Batara Kala sangat antusias karena sudah lama ia tidak berperang karena terlalu sering banyak makan dan tidur. Lalu Pandumeya memberitahukan kabar duka, kabar duka itu adalah kematian Prabu Dewasrani yang sudah dilenyapkan oleh Wisanggeni dan Antasena.
Batara Kala pun tergugah amarahnya setelah mendengar berita kematian Prabu Dewasrani, langsung sang dewa bertubuh besar dan menakutkan itu pergi meninggalkan Kahyangan Selamangunpeng untuk terjun di medan tempur menghadapi Wisanggeni dan Antasena.
Batara Kala mengamuk di medan tempur, seluruh kesaktian yang ia miliki dikeluarkan semua demi mengalahkan Wisanggeni dan Antasena. Wisanggeni mewaspadai kekuatan terbesar Batara Kala, yakni sebuah jurus bernama Aji Petak Bumi yang mampu menggoncangkan bumi walaupun hanya satu kali hentakan.
Wisanggeni dengan cepat mengantisipasi serangan dahsyat itu dengan semburan api dan serangan dari bawah tanah yang dilakukan Antasena. Batara Kala tidak bodoh, ia segera membalas dengan jurus-jurus mengerikan sehingga seluruh hutan dan pegunungan terbakar.
Seluruh hutan terbakar oleh semburan api yang meleset dari mulut Wisanggeni, Batara Kala terlalu lihai menghadapi lawannya. Antasena datang membantu dengan serangan dari udara, dari udara Antasena menghajar wajah Batara Kala dengan pukulan bertubi-tubi.
Namun, Batara Kala tidak merasa sakit sama sekali karena kulitnya kebal terhadap pukulan.
Antasena kewalahan menghadapinya, lalu Batara Kala mencengkeram kaki kiri Antasena dan memutar-mutar tubuhnya lalu dibanting ke tanah. Antasena terjatuh, Wisanggeni berganti menyerang Batara Kala dengan serangan-serangan yang muncul dari telapak tangannya.
Alangkah menyeramkan sekali pertempuran waktu itu, Batara Kala benar-benar sulit dikalahkan mengingat ia adalah seorang dewa. Namun, Antasena dan Wisanggeni harus mengakhiri pertempuran ini sebelum matahari terbit. Lalu, mereka berdua teringat dengan pesan Sang Hyang Wenang' dalam ingatan mereka, Sang Hyang Wenang memberi mereka sebuah senjata bernama Gada Emas.
Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang adalah senjata untuk mengakhiri hidup Batara Kala beserta para denawa dari Kahyangan Setra Ganda Mayit. Lalu, Wisanggeni meminta Antasena untuk menyerang Batara Kala lagi. Tapi, Antasena menolak karena semua kemampuan terbaiknya tak mampu membenamkan perlawanan Batara Kala.
Wisanggeni akhirnya maju sendiri menghadapi Batara Kala, maka diam-diam Wisanggeni mengambil Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang. Dengan serangan tanpa diduga-duga, Gada Emas yang dipegang Wisanggeni mengenai kepala Batara Kala. Setelah terkena pukulan dari Gada Emas itu, Batara Kala tersungkur tak berdaya. Kepalanya mengeluarkan darah dan sebentar-sebentar tempurungnya mulai retak, dan akhirnya Batara Kala tewas seketika.
Wisanggeni berhasil mengalahkan Batara Kala dengan menggunakan senjata Gada Emas pemberian Sang Hyang Wenang. Dari kejauhan Pandumeya dan Jarameya terkejut melihat Batara Kala tewas terkena hantaman senjata pusaka. Mereka lari dan lantas melapor kepada Batari Durga yang saat itu sedang menunggu kepulangan beberapa wadyabala denawa.
Dengan lari yang cepat, Pandumeya dan Jarameya datang ke hadapan Batari Durga dan melaporkan kejadian yang menimpa Batara Kala, Mereka bilang Batara Kala tewas terkena senjata pusaka, seketika Batari Durga marah dan beranjak dari tempat duduknya untuk menyerang Wisanggeni dan Antasena.
Sesampainya di medan laga, Batari Durga menantang Wisanggeni dan Antasena bertempur.
Maka pertempuran akbar pun terjadi antara mereka bertiga, semakin lama semakin brutal dan semakin tidak bisa diprediksi siapa yang akan menang.
Rupanya Batari Durga terbawa emosi atas kematian yang dialami Prabu Dewasrani dan Batara Kala, mantan istri Batara Guru tersebut menyerang secara tidak kenal ampun. Segala macam benda disekitarnya dipakai sebagai senjata untuk menyerang Wisanggeni dan Antasena.
Lama kelamaan pertarungan mulai terlihat semakin tidak terkendali, Lalu Wisanggeni segera menangkap Batari Durga dan Antasena diminta untuk memukul kepalanya dengan Gada Emas. Maka dalam waktu cepat mendaratlah Gada Emas diatas kepala Batari Durga. Batari Durga tewas terkena hantaman senjata pusaka itu. Maka pemenang dalam pertempuran kali ini adalah Wisanggeni dan Antasena.
Setelah berhasil mengalahkan Batari Durga, Batara Kala dan Prabu Dewasrani’ Antasena dan Wisanggeni berniat membinasakan Pandumeya dan Jarameya yang merupakan mata-mata dari Kahyangan Setra Ganda Mayit.
Berbekal senjata Gada Emas, Antasena dan Wisanggeni mencoba
mencari keberadaan Pandumeya dan Jarameya agar tidak lolos. Rupanya Pandumeya
dan Jarameya sedang bersembunyi di dalam gua yang gelap sekali.
Meskipun bersembunyi, Antasena berhasil menemukan keberadaan
keduanya yang berada didalam sana. Dengan jurus yang membuat seisi gua
bergetar, Antasena mencoba memancing kedua raksasa bajang yang melarikan diri
itu. Namun, mereka berhasil kabur karena kesaktian mereka yang luar biasa.
Antasena sebal karena gagal membinasakan mereka, Wisanggeni kemudian mendapat ide
bagaimana caranya agar Pandumeya dan Jarameya tertangkap.
Lalu, Wisanggeni datang ke Kahyangan Setra Ganda Mayit
mendahului Pandumeya dan Jarameya’ ketika sampai disana Wisanggeni menemukan 2
buah kalung jimat penyegel yang terletak di sudut gua. Wisanggeni menduga jimat
penyegel ini sebagai sumber kesialan Pandumeya dan Jarameya.
Lalu, Wisanggeni bersembunyi dengan mengkasatkan wujudnya
agar tidak terlihat’ tak lama Pandumeya dan Jarameya kembali ke Kahyangan Setra
Ganda Mayit. Mereka berdua merasa sudah tidak punya haluan untuk mengabdi,
karena sesembahan mereka sudah tewas dibunuh Antasena dan Wisanggeni. Karena
lengah, Pandumeya dan Jarameya berhasil ditangkap Wisanggeni yang sendari tadi
mengkasatkan wujudnya.
Pandumeya meminta ampunan dari Wisanggeni, tetapi putra
Arjuna tersebut tidak tinggal diam’ akhirnya jimat penyegel itu dikalungkan ke
leher Pandumeya. Seketika tubuh Pandumeya mengeluarkan asap dan lantas terbakar
mengeluarkan api. Maka tewaslah Pandumeya karena terkena daya dari kalung jimat
yang dikalungkan Wisanggeni. Jarameya juga mengalami hal serupa, ia turut tewas
setelah lehernya dikalungkan jimat penyegel. Seusai menyelesaikan tugasnya,
Wisanggeni mengeluarkan seluruh api dari tubuhnya untuk membakar seluruh isi
Kahyangan Setra Ganda Mayit menjadi abu.
Setelah api keluar dari tubuhnya, Wisanggeni segera pergi
dari tempat itu sehingga membiarkannya terbakar tanpa sisa. Maka berakhirlah
sudah riwayat Kahyangan Setra Ganda Mayit karena sudah dibinasakan oleh
Wisanggeni.
Antasena kembali berkumpul dengan Wisanggeni setelah
tugasnya selesai, mereka memutuskan kembali menemui Sang Hyang Wenang. Saat
bertemu Sang Hyang Wenang, Antasena melapor bahwa tugasnya menyingkirkan
gangguan dari Batari Durga dan antek-anteknya sudah selesai.
Sang Hyang Wenang bangga dengan kinerja kedua ksatria itu,
kemudian mereka berdua menanyakan bolehkah mereka menemui para Pandawa Lima
untuk bergabung menjadi punggawa di Kerajaan Wirata. Tetapi, Sang Hyang Wenang
tidak mengizinkan Antasena dan Wisanggeni menemui orangtua mereka karena jika
Antasena dan Wisanggeni ketahuan membinasakan seluruh penghuni Kahyangan Setra
Ganda Mayit, maka mereka berdua akan berurusan dengan Batara Guru karena selama
ini dewa yang paling berkuasa itu cenderung lebih sering dipengaruhi
orang-orang Kahyangan Setra Ganda Mayit.
Mereka kemudian diberi peraturan bahwa Antasena dan
Wisanggeni tidak boleh ikut Bharatayudha, karena dianggap mengotori isi Kitab Jitapsara yang
sudah ditulis ratusan tahun yang lalu. Akhirnya mereka memilih jalan untuk
menjadi tumbal perang demi kemenangan orangtua mereka.
Mendengar keputusan itu, Sang Hyang Wenang segera
mengeluarkan sihirnya untuk menghilangkan raga Antasena dan Wisanggeni. Muncul
cahaya dari tubuh Sang Hyang Wenang mengenai tubuh Antasena dan Wisanggeni,
tanpa diduga jiwa dan raga mereka hilang seketika.
Maka berakhirlah hidup Wisanggeni dan Antasena setelah
menyelesaikan tugasnya menghancurkan semua bahaya yang hendak mengancam para
Pandawa Lima. Kali ini tinggal menunggu cerita setelah kejadian tadi. Kira-kira
apa yang akan terjadi ketika semua pihak dari Pandawa Lima maupun Kurawa
Seratus sudah berkumpul di Padang Gurung Kurukasetra ?
(TAMAT)