Jumat, 22 Mei 2020

Puisi : Temanku Dionisius

Dia adalah temanku
Sekaligus rekan kerjaku
Dia adalah temanku
Sekaligus rekan bisnisku


Kita berteman sejak kecil
Mulai dari sekolah dasar
Hingga perguruan tinggi
Tinggal di lingkungan yang sama


Pulang pergi kita selalu bersama
Kepanasan kehujanan kita jalani semua
Saudara seperguruan dan sependeritaan
Makan dan minum saling berbagi


Walau kau dan aku berbeda keyakinan
Kau beri hormat padaku atas keimananku
Walau aku dan kau berbeda adat budaya
Ku beri hormat padamu atas kepercayaanku


Persahabatan kita tak termakan usia
Meski berpuluh tahun hidup bertetangga
Tibalah saatnya kau memilih jalan hidupmu
Antara masa depan dan masa lalu


Kau pergi setelah bertemu cinta sejati
Akhirnya aku disini sendiri merenungi
Apa sampai disini persahabatan kita ?
Apa sampai disini persaudaraan kita ?


Dionisius... Teman yang kurindukan
Dionisius... Teman yang kubanggakan
Dionisius... Rasa sayangku bagai adikku sendiri
Dionisius... Rasa empatimu melebihi kerabatku sendiri


Semoga engkau baik-baik saja
Tidak ada masalah yang mendera
Suatu saat kita berjumpa lagi
Entah sampai kapan atau nanti

Minggu, 10 Mei 2020

Puisi : Aku Tidak Bodoh

Berkali-kali kau tipu aku dengan janjimu
Berkali-kali kau tipu aku dengan ucapanmu
Setiap malam setiap hari
Mengapa selalu begini

Jelaskan alasanmu yang terkesan konyol
Walau pun akhirnya aku pun jadi dongkol
Karena terlalu banyak makan jengkol
Aku pun jadi lebih sering ngompol

Aku tidak bodoh
Aku tidak tolol
Kau saja yang bodoh
Kau saja yang tolol

Hatiku kau selimuti dengan cita-cita belaka
Yang nyata justru tidak menjadi nyata
Tinggal harapan hanya sebatas impian
Kau berhalusinasi terbang ke atas awan

Terkesan seperti bebek lumpuh
Kerjanya hanya sekedar mengeluh
Saling sindir berujung saling nyinyir
Hingga menanti surutnya banjir

Selasa, 05 Mei 2020

Suara Kita : Hizbut Tahrir Indonesia Ikut Pemilu, Pasti Bakal Kalah

Bendera Pembebasan Libya


Bayangkan saja jika Hizbut Tahrir Indonesia ikut Pemilu, sudah pasti mereka akan membuang biaya yang cukup banyak dan sulit memenangkan kursi di parlemen daerah/nasional.


Bagaimana tidak ?

Sebab anggota HTI tidak mesti berpolitik dengan ormasnya sendiri melainkan dengan ormas lain yang dimiliki parpol lain. Rugi besar kalau ikut Pemilu bagi HTI, karena mereka sangat malas menentukan masa depan lewat jalur pemilihan. Meski sering mengadakan muktamar, tetapi mereka kadang tidak konsisten untuk menentukan nasibnya sendiri.

Setiap kali HTI mengadakan muktamar, sudah jelas hasilnya sama saja' yakni menolak Pemilu dan menolak Pancasila. Kalau dipikir-pikir HTI harus punya senjata ampuh untuk memenangkan kursi di parlemen, karena ada semacam kader andalan yang elektabilitasnya tinggi dijadikan sebagai wakil rakyat.

Jujur saja, HTI meski fanatik tetapi miskin kader populer. Bahkan kader populer di HTI hanya Felix Siauw (Mualaf Tionghoa) dan Ismail Yusanto (Dedengkot Senior HTI).
Keduanya jelas belum mampu mendongkrak suara dan belum tentu berpartisipasi dalam PEMILU. Meski kerap bekerjasama dengan ormas-ormas sayap kemahasiswaan dan lembaga-lembaga survei milik swasta, sayangnya itu tidak cukup bagi HTI menggapai kursi kekuasaan.

Politik itu tidak gratis, HTI harus membayar mahal agar mau memenangkan kursi di pemilihan parlemen. Meski uangnya tidak jelas dari mana sumbernya, HTI tentu selalu mengemis pada kader-kadernya yang berduit banyak. Ada kader HTI yang jadi pengusaha, bahkan ada kader HTI yang diam-diam melobi pemerintah lewat kroni-kroninya di berbagai departemen/kementrian.

Keuangan HTI memang semu, jarang ada orang yang tahu. Dana yang mereka miliki tidak sebanyak ormas-ormas lainnya. Menurut prinsipnya, HTI masih bisa berdiri dan berjalan walau tanpa uang yang cukup maupun lebih. HTI mungkin harus banyak belajar dari PKS yang keuangannya solid, sebab sesama penjual agama ini jelas punya metode berbeda dalam mengelola keuangan.

HTI mau tidak mau harus meniru gaya politik kapitalis yang mewajibkan mahar bagi calon kadernya. Politik bukan sesuatu yang asing, tetapi mereka mungkin ingin berkuasa secara gratis tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.

Di zaman reformasi ini, HTI memang terkesan menjadi Hantu yang kerjanya menakut-nakuti orang dengan dongeng utopis tentang kejayaan khilafah islamiyah. Bahkan gaya mereka cenderung seperti misionaris ahli kitab yang kerap memaksa orang untuk mengikuti keyakinannya.

Sudah jelas ini kejam sekali, bukankah manusia berhak menentukan jalan politiknya sendiri asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kehadiran HTI justru merusak kebebasan manusia untuk menentukan gaya hidupnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dipaksa ikut Pemilu sudah pasti bakal kalah dan terpuruk seperti halnya partai-partai yang lain. Contohnya saja ketika Hizbut Tahrir Lebanon ikut Pemilu Parlemen dan Pemilihan Perdana Menteri, perolehan suaranya kalah banyak dengan Hizbullah yang notabene partai penguasa berazas ajaran Syiah.

Hal serupa pernah terjadi saat Hizbut Tahrir Yordania mengikuti Pemilu, tidak satu pun kursi parlemen jatuh ke tangan mereka bahkan belakangan malah bubar seiring menguatnya pengaruh kebebasan demokrasi di negeri yang berbatasan langsung dengan Israel, Suriah dan Arab Saudi itu.

Mau untung malah jadi buntung, itulah nasib Hizbut Tahrir di negara-negara itu tadi. Berkompetisi dalam Pemilu saja mereka sudah rugi banyak, mulai dari dana kampanye dan perekrutan kader yang cenderung memakai sistim kuno dianggap tidak berhasil membuat kelompok ini besar apalagi berkembang.

(Selesai)