Prabu Citrarata segera bangkit, ia berganti pakaian dan mengubah dirinya sebagai orang lain. Kiranya dia ingin berguru ilmu, tetapi dia harus mencari dimana tempat menimba ilmu yang tepat. Maka diseberangilah sungai yang baru saja ia temui dan sampai pula ke sebuah pertapaan. Pertapaan itu diduga milik Begawan Jamadagni, lantas masuklah ia ke dalam lingkungan pertapaan.
Kehadiran Prabu Citrarata menimbulkan keheranan oleh semua penghuni pertapaan.
Kehadiran Prabu Citrarata menimbulkan keheranan oleh semua penghuni pertapaan.
Sebab, ada orang lain yang masuk ke dalam lingkungan tanpa izin.
Kemudian salah satu cantrik menemuinya dan menanyakan maksud kedatangan
orang asing itu.
Begitu mengaku dirinya adalah seorang raja, cantrik itu kaget lantas melakukan sembah. Akhirnya dipersilahkanla h Prabu Citrarata ke dalam, lalu Cantrik yang menemui sang Prabu melapor kedatangan priyayi agung ke Jatisrana pada siang itu.
Begitu mengaku dirinya adalah seorang raja, cantrik itu kaget lantas melakukan sembah. Akhirnya dipersilahkanla
Dari
dalam pertapaan muncul seorang brahmana berbusana serba putih, dialah
Begawan Jamadagni. Prabu Citrarata diterima kedatangannya, tanpa panjang
lebar dua figur beda kasta ini saling bertutur kata di dalam balai
pertapaan Jatisrana.
Maksud hati Prabu Citrarata datang ke Jatisrana tujuannya adalah berguru ilmu kebathinan. Sebab, selama menjadi seorang raja' Prabu Citrarata selalu berbuat semena-mena oleh rakyat dan tidak menjalankan dharma sebagai ksatria.
Atas keinginan pribadi, Prabu Citrarata mengungkapkan sebuah tujuan dalam hatinya untuk mantap berguru pada Begawan Jamadagni. Begawan Jamadagni menyetujui keinginan sang Prabu, itu artinya sang Begawan memiliki murid baru selain anak-anaknya dan cantrik-cantrik nya.
Maksud hati Prabu Citrarata datang ke Jatisrana tujuannya adalah berguru ilmu kebathinan. Sebab, selama menjadi seorang raja' Prabu Citrarata selalu berbuat semena-mena oleh rakyat dan tidak menjalankan dharma sebagai ksatria.
Atas keinginan pribadi, Prabu Citrarata mengungkapkan sebuah tujuan dalam hatinya untuk mantap berguru pada Begawan Jamadagni. Begawan Jamadagni menyetujui keinginan sang Prabu, itu artinya sang Begawan memiliki murid baru selain anak-anaknya dan cantrik-cantrik
Langkah
pertama sebagai seorang murid baru, Prabu Citrarata harus menjalani
kehidupan sebagai bawahan yang selalu patuh kepada perintah atasan.
Mulai dari menyapu halaman, bercocok tanam, mempersiapkan sesajen dan menggembalakan ternak layaknya cantrik-cantrik yang sudah terbiasa melakukan hal itu.
Lama kelamaan, Prabu Citrarata mulai terbiasa dengan semua kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh kaum ksatria. Mengingat dirinya sejak menjalani masa pembersihan jiwa, memulai segalanya dari nol adalah sesuatu yang tidak buruk.
Mulai dari menyapu halaman, bercocok tanam, mempersiapkan sesajen dan menggembalakan ternak layaknya cantrik-cantrik
Lama kelamaan, Prabu Citrarata mulai terbiasa dengan semua kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh kaum ksatria. Mengingat dirinya sejak menjalani masa pembersihan jiwa, memulai segalanya dari nol adalah sesuatu yang tidak buruk.
Sang prabu amat gembira dengan kehidupan barunya sebagai seorang murid.
Hingga suatu ketika, istri Begawan Jamadagni yang bernama Dewi Renuka terpesona dengan ketampanan Prabu Citrarata. Seakan terhipnotis, sang dewi mulai tidak sadar bahwa dirinya sudah terjerembab dalam nafsu yang kotor.
Singkat cerita, Dewi Renuka akhirnya berani mengajak Prabu Citrarata bercinta saat suasana lowong.
Hingga suatu ketika, istri Begawan Jamadagni yang bernama Dewi Renuka terpesona dengan ketampanan Prabu Citrarata. Seakan terhipnotis, sang dewi mulai tidak sadar bahwa dirinya sudah terjerembab dalam nafsu yang kotor.
Singkat cerita, Dewi Renuka akhirnya berani mengajak Prabu Citrarata bercinta saat suasana lowong.
Kenekatan Dewi Renuka ini membuat seluruh alam murka, petir menyambar dan gempa bumi melanda diseluruh jagat raya. Pertanda moral mulai terkikis akibat nafsu birahi yang tiada
terkendali. Hingga pada akhirnya Begawan Jamadagni yang memergoki
kejadian itu segera memerintahkan Wasi Bargawa untuk memenggal kepala
Dewi Renuka.
Padahal, Wasi Bargawa sangat sayang kepada ibunya hingga tidak tega melaksanakan hukuman tersebut. Namun, ternyata garis takdir telah lurus terukir diatas bumi yang bulat nan tua.
Dewi Renuka dipenggal kepalanya oleh Wasi Bargawa dan dipersembahkan untuk Begawan Jamadagni. Sementara itu Prabu Citrarata yang sudah merebut istri Begawan Jamadagni akhirnya dibunuh oleh Wasi Bargawa dengan memakai kapak raksasa yang selalu dibawanya kemana pun.
Padahal, Wasi Bargawa sangat sayang kepada ibunya hingga tidak tega melaksanakan hukuman tersebut. Namun, ternyata garis takdir telah lurus terukir diatas bumi yang bulat nan tua.
Dewi Renuka dipenggal kepalanya oleh Wasi Bargawa dan dipersembahkan untuk Begawan Jamadagni. Sementara itu Prabu Citrarata yang sudah merebut istri Begawan Jamadagni akhirnya dibunuh oleh Wasi Bargawa dengan memakai kapak raksasa yang selalu dibawanya kemana pun.
Setelah dibunuh, mayat Prabu Citrarata dibuang ke sungai hingga hanyut sampai ke negeri asalnya. Tidak disangka mayat Prabu Citrarata ditemukan oleh juru perahu yang
biasa menyeberangkan orang-orang. Dengan mudah mereka mengenali sosok
Prabu Citrarata yang sudah tidak bernyawa itu.
Akhirnya, berita kematian Prabu Citrarata sampai ke telingan Patih Hehaya. Sang patih merasa kehilangan dan bersedih atas kematian sang Prabu yang tidak diketahui apa penyebabnya. Akhirnya Patih Hehaya memutuskan untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai raja dan mengadakan hari berkabung selama 7 hari untuk menghormati Prabu Citrarata.
Akhirnya, berita kematian Prabu Citrarata sampai ke telingan Patih Hehaya. Sang patih merasa kehilangan dan bersedih atas kematian sang Prabu yang tidak diketahui apa penyebabnya. Akhirnya Patih Hehaya memutuskan untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai raja dan mengadakan hari berkabung selama 7 hari untuk menghormati Prabu Citrarata.
Setelah Dewi Renuka dan Prabu Citrarata dieksekusi mati, Wasi Bargawa mengaku telah berdosa karena menghabisi nyawa ibunya. Wasi Bargawa merasa ini tidak adil, kenapa perselingkuhan harus dibayar dengan nyawa ?
Seharusnya Dewi Renuka dihukum buang atau diusir dari Pertapaan untuk membersihkan noda birahi yang mencoreng nama baik keluarga.
Seharusnya Dewi Renuka dihukum buang atau diusir dari Pertapaan untuk membersihkan noda birahi yang mencoreng nama baik keluarga.
Akan tetapi keputusan Begawan Jamadagni sudah bulat untuk mengeksekusi istrinya yang sudah berbuat serong. Bahkan semua orang di pertapaan cukup tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Begawan Jamadagni. Wasi Bargawa pun tertunduk lesu menyesali perbuatannya, ia merasa berdosa karena telah melaksanakan perintah ayahnya.
Dengan penuh penyesalan, Wasi Bargawa meninggalkan pertapaan untuk bertapa di gunung lebih lama. Alasannya jelas, yaitu membersihkan dosa-dosa dan meminta pengampunan dari dewata. Sambil menggendong Kapak Besar dan Gandewa Raksasa, Wasi Bargawa pelan-pelan menjauhi pertapaan meski air mata menetes sepanjang perjalanan.
Dengan penuh penyesalan, Wasi Bargawa meninggalkan pertapaan untuk bertapa di gunung lebih lama. Alasannya jelas, yaitu membersihkan dosa-dosa dan meminta pengampunan dari dewata. Sambil menggendong Kapak Besar dan Gandewa Raksasa, Wasi Bargawa pelan-pelan menjauhi pertapaan meski air mata menetes sepanjang perjalanan.
Singkatnya, seusai Wasi Bargawa pergi meninggalkan pertapaan untuk bertapa.
Namun, ketika Wasi Bargawa pulang ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Ia menemukan banyak penghuni pertapaan tewas terbunuh.
Alhasil, tidak disangka Wasi Bargawa melihat ayahnya terbujur kaku tanpa nyawa.
Wasi Bargawa menduga ada sekelompok orang yang menyerang pertapaan.
Menurut naluri, tidak mungkin pertapaan dirampok. Wasi Bargawa menemukan potongan senjata yang diduga adalah milik prajurit kerajaan.
Sudah jelas pertapaan diserang oleh pasukan bersenjata, tetapi darimana mereka itu ?
Namun, ketika Wasi Bargawa pulang ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Ia menemukan banyak penghuni pertapaan tewas terbunuh.
Alhasil, tidak disangka Wasi Bargawa melihat ayahnya terbujur kaku tanpa nyawa.
Wasi Bargawa menduga ada sekelompok orang yang menyerang pertapaan.
Menurut naluri, tidak mungkin pertapaan dirampok. Wasi Bargawa menemukan potongan senjata yang diduga adalah milik prajurit kerajaan.
Sudah jelas pertapaan diserang oleh pasukan bersenjata, tetapi darimana mereka itu ?
Dari
kejauhan terdengar suara orang yang merintih, rupanya itu adalah salah
satu suara penghuni pertapaan yang masih bertahan penuh luka. Wasi Bargawa segera mendekati orang itu dan menanyakan siapa yang berbuat keji semacam ini.
Menurut penuturan orang yang terbaring penuh luka, pertapaan diserang oleh rombongan prajurit dari Kerajaan Martikawata.
Menurut penuturan orang yang terbaring penuh luka, pertapaan diserang oleh rombongan prajurit dari Kerajaan Martikawata.
Setelah menjawab, korban penyerangan itu diselamatkan dan diobati oleh Wasi Bargawa.
Menurut penuturan korban, pasukan Kerajaan Martikawata menyerang tanpa ampun. Mereka tidak tanggung-tanggu ng merusak pertapaan bahkan dengan tega menghabisi nyawa Begawan Jamadagni.
Mendengar ayahnya tewas, Wasi Bargawa bangkit dan bersumpah akan menghancurkan kerajaan yang menyerbu pertapaannya itu.
Kemudian, Wasi Bargawa datang ke negeri dimana pasukannya itu baru saja merusak pertapaan dan membunuh ayahnya.
Dari kejauhan, terlihat para prajurit sedang merayakan kemenangannya sambil mabuk-mabukan dan menari-nari dengan diiringi musik gamelan.
Makin murka raut wajah Wasi Bargawa melihat suatu pemandangan dimana orang-orang disekitar pertapaan menjadi korban penyerbuan.
Tanpa pikir panjang Wasi Bargawa masuk ke dalam keraton tanpa permisi, lalu prajurit yang berjaga-jaga menghalangi Wasi Bargawa. Mereka hendak mengusirnya, namun salah satu prajurit yang mengusir Wasi Bargawa malah dicekik dan diancam.
Wasi Bargawa meminta agar raja negeri itu keluar dan meladeninya bertarung satu lawan satu.
Menurut penuturan korban, pasukan Kerajaan Martikawata menyerang tanpa ampun. Mereka tidak tanggung-tanggu
Mendengar ayahnya tewas, Wasi Bargawa bangkit dan bersumpah akan menghancurkan kerajaan yang menyerbu pertapaannya itu.
Kemudian, Wasi Bargawa datang ke negeri dimana pasukannya itu baru saja merusak pertapaan dan membunuh ayahnya.
Dari kejauhan, terlihat para prajurit sedang merayakan kemenangannya sambil mabuk-mabukan dan menari-nari dengan diiringi musik gamelan.
Makin murka raut wajah Wasi Bargawa melihat suatu pemandangan dimana orang-orang disekitar pertapaan menjadi korban penyerbuan.
Tanpa pikir panjang Wasi Bargawa masuk ke dalam keraton tanpa permisi, lalu prajurit yang berjaga-jaga menghalangi Wasi Bargawa. Mereka hendak mengusirnya, namun salah satu prajurit yang mengusir Wasi Bargawa malah dicekik dan diancam.
Wasi Bargawa meminta agar raja negeri itu keluar dan meladeninya bertarung satu lawan satu.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar