Selasa, 26 November 2019

Cerita Anak Muda : Rocker Pensiun (Episode 11)

Hampir saja Omen meneteskan air mata usai mengenang masa lalunya bersama The New Bad Boys. Baginya grup musik fenomenal itu adalah jembatan kesuksesan yang mengubah hidupnya. Akan tetapi, Omen harus menentukan pilihan hidup.

Jika ia kembali bermusik maka ia harus berpisah dengan istrinya atau tetap bekerja seperti biasa asalkan tidak berpisah. Sebuah dilema yang rumit, namun apakah istrinya masih segan memberinya kelonggaran untuk kembali bermusik seperti dulu ?

Semalaman Omen tidak bisa tidur, ia memandangi foto yang terpasang di tembok. Dalam keadaan terjaga, Omen masih memikirkan teman-temannya yang masih mencari keberadaan dirinya selama ini. Sedih rasanya bila mengingat masa-masa itu, ingin kembali tapi tidak bernyali... apa boleh buat, semua adalah takdir baginya.
Bertemu dan berpisah adalah rentetan peristiwa yang harus dialami setiap manusia.

Kehidupan Omen beserta istrinya memasuki fase baru, dimana krisis finansial mulai terasa.
Sepeser uang pun tidak ada untuk membeli keperluan dapur.
Bahkan kondisi kehamilan istri makin berkembang.
Omen berniat membelikannya Susu Formula, dan pada pagi itu Omen pergi bekerja seperti biasa.

Sepulang kerja, Omen tidak lupa menunaikan rencananya untuk membeli susu formula.
Tiba-tiba ditengah perjalanan pulang, Omen ditabrak motor dan tubuhnya terluka parah.
Sayangnya pengendara motor justru kabur tanpa bertanggung jawab atas apa yang dialami Omen.

Tidak lama, berhentilah sebuah mobil dan penumpangnya berhamburan keluar mencoba menolong Omen. Ternyata para penumpang itu adalah rekan-rekan Omen di grup musik The New Bad Boys yang baru saja pulang wawancara di radio.

Omen pun dibawa ke Rumah Sakit untuk menjalani perawatan, setelah diobati Omen harus di-opname untuk memulihkan lukanya. Selama di-opname Omen gelisah bukan kepalang.
Ia memikirkan nasib Fhey, istrinya di rumah yang sedang hamil. Tidak lama, Fhey pun datang pada hari ke 2. Dalam keadaan tergopoh-gopoh' Fhey menemui Omen yang masih dibalut perban dan terbaring.

Fhey sampai menangis melihat keadaan suaminya itu. Mengingat sudah 2 hari tidak kunjung pulang. Omen yang terbaring penuh perban mengatakan bahwa sepulang kerja ia ditabrak mobil.

Untung saja tidak menimbulkan sesuatu yang serius, hanya lecet-lecet dan memar. Tetapi, sebagai wanita hamil tentu sangatlah was-was mendengar suaminya di rumah sakit.
Fhey bilang bahwa seharusnya ia sendirilah yang berada di rumah sakit, sebab dirinya sedang hamil.

Omen berkata bahwa dirinya teramat bersalah, karena setelah berhenti bekerja sebagai pemusik dirinya mengaku sulit memperbaiki ekonomi. Sebab, Omen tidak ingin mengecewakan Fhey yang sedang hamil tua. Karena dilarang bermusik oleh mertua, Omen harus mencari pekerjaan lain.

Fhey anggap apa yang dikatakan orang tuanya sudah menyengsarakan dirinya dan juga suaminya. Mestinya orang tua tidak perlu mengintervensi profesi anak dan tidak berhak mengatur kehidupan anak-anaknya yang sudah mapan.

Omen tidak sanggup kalau harus begini jadinya, sebab tidak ada satu pun yang membuatnya bahagia kecuali bermusik. Kemudian, Sahili mencoba menenangkan hati Omen. Dia berkata bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sebab, The New Bad Boys masih eksis meski tanpa kehadiran Omen. Omen berniat ingin kembali bermusik, namun ia bimbang karena harus menentukan pilihan.
Apakah tetap bermusik atau harus menemani istrinya yang sedang hamil ?
Suasana menjadi haru, semua terdiam setelah Omen mengatakan hal itu.

Tidak lama, datanglah kedua orang tua Fhey' yang tidak lain adalah mertua Omen. Mereka berdua agak gusar menyaksikan Omen terbaring lemah setelah mengalami kecelakaan.
Omen tidak tahu harus berkata apa ?
Sebab ia takut akan mengalami seperti yang selama ini ia bayangkan.

Maka dengan berat hati, Omen mengatakan yang sejujurnya kepada kedua mertuanya itu.
Terus terang, Omen tidak mampu menghadapi semua cobaan ini. Karena perlakuan mertuanya yang tidak menyukai pekerjaan Omen.

Omen merasa bekerja di bidang selain musik malah membuat dirinya tidak bahagia dan tidak tenang pikiran. Terlebih pada saat istrinya yang kini hamil tua, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan demi membahagiakan sang istri.

Omen, meminta agar mertuanya tidak mengusik dan mengatur-atur kehidupan pribadinya terutama masalah pekerjaan. Bahkan Omen sudah berniat untuk berpisah dengan Fhey bila mertuanya benar-benar menolak dengan tegas. Omen bahkan berpesan kepada mertuanya untuk menjaga Fhey yang kelak akan melahirkan anak pertama.

Orang tua Fhey tidak mengerti apa yang dimaksud Omen.
Yang jelas Omen tidak mau diatur-atur karena masalah pekerjaan.
Terlebih, Omen ingin hidupnya bebas seperti dulu. Dimana ia bisa bekerja sesuka hatinya tanpa adanya intervensi.

(Bersambung)

Desain Kaos Pemain Sepak Bola : PSMS Medan Adidas



PSMS Medan Adidas

Desain Kaos Pemain Sepak Bola : Manchester United 1990 & 1991

Manchester United 1990


Manchester United 1991

Jumat, 22 November 2019

Puisi : Jurang Pemisah

Foto : Maria Vania

Kawan dengarkanlah suara hatiku
Melihat kenyataan yang amat pilu
Perbedaan diantara banyaknya cinta
Yang seharusnya tidak jadi masalah juga

Coba kau pikir lebih dalam
Coba kau bayangkan lebih jauh
Sudah cukup banyak peristiwa kelam
Membuat pikiran kita semakin keruh

Hanya karena perbedaan keyakinan
Turun ke jalan membuat kekacauan
Sebab mereka tidak mau berteman dengan yang tidak seiman
Walau pun seiman kadang lebih jahat daripada bajingan

Haus kekuasaan dan haus jabatan
Itulah manusia yang penuh kegilaan
Sampai-sampai keyakinan jadi barang dagangan
Dijual murah asal dapat jabatan menjanjikan

Mengapa kita dipisah oleh jurang yang dalam
Antara mayoritas dan minoritas
Mengapa kita digariskan melewati masa yang suram
Antara identitas dan individualitas

Negeriku sedang jatuh sakit
Negeriku sedang lalui masa sulit
Di balik putihnya sorban dan jubah itu
Terdapat mimpi persatuan yang semu

Keyakinan dikorbankan demi nafsu pribadi
Bukankah Yang Maha Kuasa akan murka
Melihat hambaNya jadi pendusta nurani
Hanya karena ingin semata-mata berkuasa

Ku dengar suara sumbang menggema
Diantara lautan kesunyian dalam jiwa
Terlihat noda-noda yang najis penuh luka
Itulah orang-orang dungu tapi bermuka dua

Puisi : Aku Memang Pendosa

Foto : Sri Wahyumi Maria Manalip

Hidupku ini penuh dengan perbuatan salah
Tiada satu pun yang pernah kulewatkan
Semuanya kulakukan tanpa ada masalah
Itu pun ketika nasib sedang meyakinkan

Apalah artinya jadi orang baik-baik ?
Kalau nantinya jadi orang yang jahat
Sebaik apapun sifatmu pasti jadi jahat
Sejahat apapun sifatmu semua itu biasa saja

Setiap manusia terlahir serba kekurangan
Mulai dari kurang asupan hingga kurang pendidikan
Jangan salahkan ibu yang melahirkannya
Sebab tiada satu pun manusia yang lepas dari kesalahan

Aku memang pendosa, tak pantas diampuni
Aku memang pendosa, tak pantas dihormati
Kesalahanku adalah faktor perubahan zaman
Kejahatanku adalah faktor perubahan zaman

Sedikit orang yang berbuat baik
Lebih banyak orang berbuat jahat
Jangan seenaknya mengumpat para pendosa
Karena belum tentu pendosa masuk neraka

Aku memang pendosa, namun aku masih punya nurani
Aku memang pendosa, namun aku masih punya rasa iba
Jangan seenaknya menghakimi
Jangan semaunya menghina

Senin, 11 November 2019

Kisah Arjuna Sasrabahu : Perselingkuhan Dewi Renuka (Episode 08)

Prabu Citrarata segera bangkit, ia berganti pakaian dan mengubah dirinya sebagai orang lain. Kiranya dia ingin berguru ilmu, tetapi dia harus mencari dimana tempat menimba ilmu yang tepat. Maka diseberangilah sungai yang baru saja ia temui dan sampai pula ke sebuah pertapaan. Pertapaan itu diduga milik Begawan Jamadagni, lantas masuklah ia ke dalam lingkungan pertapaan.

Kehadiran Prabu Citrarata menimbulkan keheranan oleh semua penghuni pertapaan.
Sebab, ada orang lain yang masuk ke dalam lingkungan tanpa izin. Kemudian salah satu cantrik menemuinya dan menanyakan maksud kedatangan orang asing itu.

Begitu mengaku dirinya adalah seorang raja, cantrik itu kaget lantas melakukan sembah. Akhirnya dipersilahkanlah Prabu Citrarata ke dalam, lalu Cantrik yang menemui sang Prabu melapor kedatangan priyayi agung ke Jatisrana pada siang itu.

Dari dalam pertapaan muncul seorang brahmana berbusana serba putih, dialah Begawan Jamadagni. Prabu Citrarata diterima kedatangannya, tanpa panjang lebar dua figur beda kasta ini saling bertutur kata di dalam balai pertapaan Jatisrana.

Maksud hati Prabu Citrarata datang ke Jatisrana tujuannya adalah berguru ilmu kebathinan. Sebab, selama menjadi seorang raja' Prabu Citrarata selalu berbuat semena-mena oleh rakyat dan tidak menjalankan dharma sebagai ksatria.

Atas keinginan pribadi, Prabu Citrarata mengungkapkan sebuah tujuan dalam hatinya untuk mantap berguru pada Begawan Jamadagni. Begawan Jamadagni menyetujui keinginan sang Prabu, itu artinya sang Begawan memiliki murid baru selain anak-anaknya dan cantrik-cantriknya.

Langkah pertama sebagai seorang murid baru, Prabu Citrarata harus menjalani kehidupan sebagai bawahan yang selalu patuh kepada perintah atasan.
Mulai dari menyapu halaman, bercocok tanam, mempersiapkan sesajen dan menggembalakan ternak layaknya cantrik-cantrik yang sudah terbiasa melakukan hal itu.

Lama kelamaan, Prabu Citrarata mulai terbiasa dengan semua kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh kaum ksatria. Mengingat dirinya sejak menjalani masa pembersihan jiwa, memulai segalanya dari nol adalah sesuatu yang tidak buruk.

Sang prabu amat gembira dengan kehidupan barunya sebagai seorang murid.
Hingga suatu ketika, istri Begawan Jamadagni yang bernama Dewi Renuka terpesona dengan ketampanan Prabu Citrarata. Seakan terhipnotis, sang dewi mulai tidak sadar bahwa dirinya sudah terjerembab dalam nafsu yang kotor.
Singkat cerita, Dewi Renuka akhirnya berani mengajak Prabu Citrarata bercinta saat suasana lowong.

Kenekatan Dewi Renuka ini membuat seluruh alam murka, petir menyambar dan gempa bumi melanda diseluruh jagat raya. Pertanda moral mulai terkikis akibat nafsu birahi yang tiada terkendali. Hingga pada akhirnya Begawan Jamadagni yang memergoki kejadian itu segera memerintahkan Wasi Bargawa untuk memenggal kepala Dewi Renuka.
Padahal, Wasi Bargawa sangat sayang kepada ibunya hingga tidak tega melaksanakan hukuman tersebut. Namun, ternyata garis takdir telah lurus terukir diatas bumi yang bulat nan tua.

Dewi Renuka dipenggal kepalanya oleh Wasi Bargawa dan dipersembahkan untuk Begawan Jamadagni. Sementara itu Prabu Citrarata yang sudah merebut istri Begawan Jamadagni akhirnya dibunuh oleh Wasi Bargawa dengan memakai kapak raksasa yang selalu dibawanya kemana pun.

Setelah dibunuh, mayat Prabu Citrarata dibuang ke sungai hingga hanyut sampai ke negeri asalnya. Tidak disangka mayat Prabu Citrarata ditemukan oleh juru perahu yang biasa menyeberangkan orang-orang. Dengan mudah mereka mengenali sosok Prabu Citrarata yang sudah tidak bernyawa itu.

Akhirnya, berita kematian Prabu Citrarata sampai ke telingan Patih Hehaya. Sang patih merasa kehilangan dan bersedih atas kematian sang Prabu yang tidak diketahui apa penyebabnya. Akhirnya Patih Hehaya memutuskan untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai raja dan mengadakan hari berkabung selama 7 hari untuk menghormati Prabu Citrarata.

Setelah Dewi Renuka dan Prabu Citrarata dieksekusi mati, Wasi Bargawa mengaku telah berdosa karena menghabisi nyawa ibunya. Wasi Bargawa merasa ini tidak adil, kenapa perselingkuhan harus dibayar dengan nyawa ?

Seharusnya Dewi Renuka dihukum buang atau diusir dari Pertapaan untuk membersihkan noda birahi yang mencoreng nama baik keluarga.

Akan tetapi keputusan Begawan Jamadagni sudah bulat untuk mengeksekusi istrinya yang sudah berbuat serong. Bahkan semua orang di pertapaan cukup tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Begawan Jamadagni. Wasi Bargawa pun tertunduk lesu menyesali perbuatannya, ia merasa berdosa karena telah melaksanakan perintah ayahnya.

Dengan penuh penyesalan, Wasi Bargawa meninggalkan pertapaan untuk bertapa di gunung lebih lama. Alasannya jelas, yaitu membersihkan dosa-dosa dan meminta pengampunan dari dewata. Sambil menggendong Kapak Besar dan Gandewa Raksasa, Wasi Bargawa pelan-pelan menjauhi pertapaan meski air mata menetes sepanjang perjalanan.


Singkatnya, seusai Wasi Bargawa pergi meninggalkan pertapaan untuk bertapa.
Namun, ketika Wasi Bargawa pulang ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Ia menemukan banyak penghuni pertapaan tewas terbunuh.

Alhasil, tidak disangka Wasi Bargawa melihat ayahnya terbujur kaku tanpa nyawa.
Wasi Bargawa menduga ada sekelompok orang yang menyerang pertapaan.
Menurut naluri, tidak mungkin pertapaan dirampok. Wasi Bargawa menemukan potongan senjata yang diduga adalah milik prajurit kerajaan.

Sudah jelas pertapaan diserang oleh pasukan bersenjata, tetapi darimana mereka itu ?

Dari kejauhan terdengar suara orang yang merintih, rupanya itu adalah salah satu suara penghuni pertapaan yang masih bertahan penuh luka. Wasi Bargawa segera mendekati orang itu dan menanyakan siapa yang berbuat keji semacam ini.

Menurut penuturan orang yang terbaring penuh luka, pertapaan diserang oleh rombongan prajurit dari Kerajaan Martikawata.

Setelah menjawab, korban penyerangan itu diselamatkan dan diobati oleh Wasi Bargawa.
Menurut penuturan korban, pasukan Kerajaan Martikawata menyerang tanpa ampun. Mereka tidak tanggung-tanggung merusak pertapaan bahkan dengan tega menghabisi nyawa Begawan Jamadagni.

Mendengar ayahnya tewas, Wasi Bargawa bangkit dan bersumpah akan menghancurkan kerajaan yang menyerbu pertapaannya itu.
Kemudian, Wasi Bargawa datang ke negeri dimana pasukannya itu baru saja merusak pertapaan dan membunuh ayahnya.

Dari kejauhan, terlihat para prajurit sedang merayakan kemenangannya sambil mabuk-mabukan dan menari-nari dengan diiringi musik gamelan.
Makin murka raut wajah Wasi Bargawa melihat suatu pemandangan dimana orang-orang disekitar pertapaan menjadi korban penyerbuan.

Tanpa pikir panjang Wasi Bargawa masuk ke dalam keraton tanpa permisi, lalu prajurit yang berjaga-jaga menghalangi Wasi Bargawa. Mereka hendak mengusirnya, namun salah satu prajurit yang mengusir Wasi Bargawa malah dicekik dan diancam.
Wasi Bargawa meminta agar raja negeri itu keluar dan meladeninya bertarung satu lawan satu.

(Bersambung)