Minggu, 08 April 2018

Puisi : Luntur

Kehadiranmu adalah bencana bagiku
Polah Tingkahmu adalah hal yang membuatku malu
Senyumanmu kuanggap ejekan menyebalkan
Ucapan dari mulutmu kuanggap hinaan menyakitkan

Tapi mengapa dia begitu ?
Aku sendiri pun tak tahu...

Saat aku susah, dia mau membantu
Saat aku gelisah, dia mau menghiburku
Saat aku bersalah, dia menasehatiku
Saat aku lelah, dia menyemangatiku

Aku pikir dia cuma cari perhatian
Atau hanya sekedar cari pencitraan
Begitu dirinya tak berada di sini
Ada sesuatu yang mengganjal di hati

Dimanakah dirinya saat ini ?
Mengapa tak hadir kemari ?
Mengapa aku menanyakannya ?
Mengapa aku menkhawatirkannya ?

Mengapa aku memikirkannya ?
Mengapa aku merindukannya ?
Orang yang selama ini kubenci
Ternyata sangat begitu peduli

Mengapa aku abaikan dirinya
Sementara hatiku mulai hampa
Saat dia kembali, dialah yang kunanti
Namun ternyata dia tak lagi sendiri

Kini telah kupahami, terlambat sudah rinduku ini
Akhirnya aku menyesal di kemudian hari


Kebencianku terhadapnya kini telah luntur
Bersama dengan hatiku yang hancur lebur
Jika dirinya menyadari semua itu
Aku ingin dia menemui diriku

Puisi : Ambisius

Kata-katanya selalu menggairahkan
Padahal selalu menggantungkan harapan
Janji-janjinya selalu menyengangkan
Padahal dirinya kerap umbar kebohongan

Harta berlimpah diatas sumpah serapah
Rakus jabatan, haus kekuasaan
Tubuh basah berkeringat bau sampah
Nafsu setan, tidak berperikemanusiaan

Kerjanya mengemis empati di depan rakyat
Meminta dukungan agar cepat diangkat
Rambutnya kusam dan kulit mengkerut berurat
Ingatlah dirimu sebentar lagi akan sekarat


Lawan-lawan dan saingan-saingan
Dihabisi tanpa ada perlawanan
Pasang aksi pasang badan
Yang penting dapat jabatan

Puisi : Terserah, Apa Katamu

Sudah berkali-kali, aku hanya ikuti caramu
Sudah berkali-kali, aku cuma ikuti saranmu
Bukan berarti diriku ini tidak punya usulan
Segala hal yang kau katakan adalah keharusan

Kali ini kau membuat sebuah kesalahan
Justru diriku yang disalahkan
Keputusanmu itu sungguh menyesatkan
Namun akhirnya dimaklumkan

Terserah, apa perintahmu
Dirimulah yang bilang sendiri
Terserah, apa tuntutanmu
Dirimulah yang usul sendiri


Terserah, apa katamu
Resiko bahaya kau tanggung sendiri
Terserah, apa katamu
Sial untung kau rasakan sendiri

Puisi : Bukan Pemenang

Kau pikir dirimu lebih baik dariku
Dengan segala yang kau punya itu
Sampai berani menantang orang lain
Sambil menatap tajam penuh aura dingin

Harga diri kau bela setengah mati
Hanya demi mementingkan gengsi
Tiada terpikirkah untuk rendah diri
Agar dirimu tak jadi sosok besar hati

Kurasa dirimu bukanlah pemenang
Namun engkau hanyalah pecundang
Kerjamu hanya menanam kebencian
Demi ambisi pribadi yang kau impikan

Lebih baik engkau sadari
Keburukan jiwa dan hati
Buanglah risau yang mengganggu
Sembuhkanlah galau dalam otakmu


Kurasa dirimu bukanlah pemenang
Mentang-mentang sudah berpikir matang
Kerjamu hanya menanamkan fitnah keji
Demi merebut kekuasaan yang hakiki

Puisi : Terlambat Untuk Sadar

Aku berbuat baik kepadamu
Hanya sekedar iba denganmu
Melihat nasibmu yang parah
Terpojok panasnya amarah

Namun kau anggap itu pencitraan
Walaupun kulakukan penuh kesungguhan
Aku harap engkau mau sadar
Sebelum dunia berhenti berputar

Sampai matahari terbenam di barat
Kau tak kunjung tahu semua itu
Dan barulah kau sadar semua terlambat
Sirna sudah harapan dalam hatiku

Aku pergi karena dirimu
Aku terluka karena dirimu
Kau pergi karena diriku
Kau terluka karena diriku


Rasanya kepalaku hendak pecah
Dunia seakan hampir terbelah
Rupanya dirimu baru tersadar juga
Terlambat bagimu membuka pintu cinta

Puisi : Untuk Mantan

Foto : Ghea Youbi

Untuk mantan kekasihku
Surat ini kutulis untukmu
Yang pernah hadir dalam hidupku
Dariku yang dahulu mencintaimu

Apa kabar, pasti baik-baik saja ?
Semoga dirimu sehat selalu
Mungkin dirimu sudah lupa ?
Dengan kenangan masa lalu

Pertengkaran tempo hari
Tak bisa dipungkiri
Memang seharusnya begini
Tinggalkan sisa dihati

Kabarku baik-baik saja
Sama seperti kabarmu
Jangan kau kira aku merana
Kala aku meninggalkanmu

Aku harap tiada lagi tensi
Akibat masa lalu penuh gengsi
Semoga dirimu berjaya
Walau pun tanpa cinta

Puisi : Wabah

Air hujan turun ke pemukiman
Banjir menggenang damainya kehidupan
Wabah penyakit datang silih berganti
Menggerogoti jiwa tanpa henti

Bencana melanda seakan jadi tamparan
Namun manusia malah perduli setan
Nyawa melayang akibat wabah dimana-mana
Cerita kelabu berbalut kain nestapa

Awan mendung menutupi sinar mentari
Bumi menangis tersiksa oleh manusia sendiri
Lalat-lalat hijau menciumi kulit yang terluka
Aroma busuk nan tengik melayang di angkasa

Rasa sakit tiada mampu terobati
Uluran tangan tak kunjung tiba
Karena sibuk dengan urusan pribadi
Kaya harta gono-gini jadi lupa diri